Akademisi Kritik Hitungan Kerugian Negara dalam Kasus Impor Gula Tom Lembong
- VIVA.co.id/Fajar Ramadhan
Jakarta, VIVA – Penghitungan kerugian negara yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam kasus impor gula yang menyeret nama Thomas Trikasih Lembong kembali menuai kritik keras.
Laporan BPKP menyebut adanya kerugian negara akibat selisih tarif impor dan pembelian gula di atas Harga Pokok Petani (HPP), namun pendekatan itu dinilai keliru dan menyesatkan secara ekonomi.
Tom Lembong
- VIVA.co.id/Fajar Ramadhan
Menurut BPKP, negara seharusnya menerima penerimaan lebih besar jika gula yang diimpor adalah Gula Kristal Putih (GKP), bukan Gula Kristal Mentah (GKM) seperti yang dilaporkan. Klaim kerugian itu muncul karena tarif bea masuk GKP lebih tinggi, sehingga perbedaan tarif dianggap sebagai kerugian negara.
Namun menurut Vid Adrison, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia sekaligus peneliti senior di LPEM FEB UI, pendekatan tersebut sangat keliru dan justru bertentangan dengan logika dasar ekonomi.
Ia menyebut tidak ada kerugian negara dalam impor GKM karena, barang yang diimpor memang GKM dan bukan GKP.
Barang telah dilepas dari pelabuhan tanpa sanggahan dari Bea Cukai, dan tidak ada sanksi administratif terhadap importir.
Menurutnya, Hanya ada dua kejadian yang bisa menimbulkan kekurangan penerimaan negara dalam rangka impor: product misclassification dan under-invoicing, dan ini tidak terjadi dalam kegiatan impor gula Tom Lembong.
Metode BPKP yang membandingkan bea masuk GKM dengan yang “seharusnya” diterima dari impor GKP menjadi sangat salah.
“Jika memang terjadi pelanggaran seperti salah klasifikasi, importir tinggal membayar kekurangan bea masuk sesuai Pasal 82 UU Kepabeanan. Tapi dalam kasus ini, tak ada pelanggaran. Klaim kerugian negara tak berdasar,” kata Vid, dalam keterangannya, Rabu, 25 Juni 2025.
Ia menjelaskan bahwa gula merupakan barang bulky yang secara fisik mudah dibedakan. “Petugas bea cukai pasti bisa membedakan GKM dari GKP. Ditambah lagi, harga acuan global tersedia secara terbuka. Tidak mungkin terjadi misklasifikasi sistemik tanpa diketahui otoritas,” tambahnya.
Dalam aspek ekonomi makro, Vid menyampaikan temuan penting: model ekonomi justru menunjukkan bahwa kebijakan impor GKM untuk diolah menjadi GKP memberi kontribusi positif terhadap perekonomian nasional senilai Rp 901 miliar. Temuan ini sangat bertolak belakang dengan dakwaan Kejaksaan yang menyatakan Indonesia "seharusnya" mengimpor GKP langsung.
“Kalau logika itu dibenarkan, maka semua pabrik seharusnya ditutup. Buat apa memproduksi kalau dianggap lebih menguntungkan impor barang jadi? Padahal, dari pengolahan bahan mentah itulah muncul nilai tambah, lapangan kerja, dan pajak,” kata Vid.
Ia juga menyoroti kesalahan fatal dalam cara Kejaksaan menafsirkan HPP. Menurutnya, HPP ditetapkan untuk melindungi petani, bukan sebagai batas maksimal harga jual produk akhir. Setelah tebu diolah menjadi gula, maka pabrik secara alami akan menambahkan komponen biaya produksi, distribusi, dan margin keuntungan.
“Logikanya sama seperti UMR. Kalau UMR Rp 5 juta lalu ada perusahaan menggaji Rp 6 juta, itu bukan pelanggaran. Justru sehat. Begitu juga dengan HPP. Kalau harga jual di atas HPP, itu wajar,” ujarnya.
Vid menganggap pendekatan hukum dalam kasus ini sebagai preseden buruk, baik bagi iklim usaha maupun perekonomian nasional. “Jika logika keliru ini diterima, maka seluruh industri pengolahan bisa dituduh merugikan negara hanya karena menghasilkan nilai tambah. Ini berbahaya,” ungkapnya.
Tom Lembong di Ruang Sidang
- VIVA.co.id/Fajar Ramadhan
Lebih jauh, ia menyebut logika yang digunakan dalam dakwaan Kejaksaan sama sekali tak berdiri di atas dasar ilmu ekonomi. “Saya belum pernah melihat kasus seabsurd ini. Ibaratnya kita bilang 2 x 2 = 4, mereka bersikeras bilang 2 x 2 = 5,” keluh Vid.
Kekeliruan dalam menghitung kerugian negara bisa menimbulkan konsekuensi sistemik. “Petani tak bisa jual panen, industri berhenti berproduksi, tenaga kerja kehilangan pekerjaan, dan harga gula melonjak. Kalau pendekatan seperti ini terus digunakan, maka bukan hanya satu orang yang terdampak, tapi seluruh sistem ekonomi nasional,” tutupnya.