Banyak Sarjana Nganggur, DPR: Negara Harus Hadir, Jangan Hanya jadi Penonton Pasar yang Kejam

Ilustrasi job fair.
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

Jakarta, VIVA - Melonjaknya angka pengangguran dari masyarakat berpendidikan lulusan sarjana jadi sorotan DPR RI. Kondisi itu miris karena ada jutaan masyarakat menganggur di saat Indonesia menuju puncak bonus demografi pada 2030-2045.

PHK di Mana-mana Pengangguran Meroket, AI Disebut-sebut Sebagai Biang Keroknya

Demikian disampaikan Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi untuk merespons rilis Badan Pusat Statistik (BPS). Dari data BPS melaporkan sebanyak 1,01 juta pengganguran di Indonesia merupakan lulusan universitas alias sarjana.

“Lebih dari 1 juta sarjana menganggur? Ini ironi besar di tengah bonus demografi yang katanya menjadi peluang untuk Indonesia Emas,” kata Nurhadi, dalam keterangannya dikutip pada Minggu, 6 Juli 2025.

Ada Kabar Baik Buat Pengangguran dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Nurhadi mengatakan alokasi dana triliunan rupiah untuk pendidikan tinggi tak menjamin terciptanya angkatan kerja yang mumpuni. Dia merasa heran karena Pemerintah sudah mengalokasikan Rp4,7 triliun untuk investasi dan peningkatan sarana prasarana di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akademik, termasuk peralatan praktik, laboratorium, dan fasilitas pelatihan. 

Pun, secara keseluruhan, Pemerintah sudah mengalokasikan dana sebesar Rp76,4 triliun untuk sektor pendidikan dari APBN 2025. Menurut Nurhadi, Pemerintah telah gagal menyelaraskan lulusan berpendidikan dengan kesiapan dunia kerja. 

Pramono: Triwulan Pertama 2025 Pengangguran di Jakarta Turun ke Angka 6,18 Persen

Anggota Komisi IX DPR, Nurhadi

Photo :
  • DPR RI

Dia menyebut kondisi itu dianggapnya bahwa RI sedang menghadapi situasi absurd. 

"Negara mengeluarkan triliunan rupiah untuk pendidikan tinggi. Tapi, hasilnya justru ‘parkir’ jadi pengangguran," jelas legislator dari Dapil Jawa Timur VI itu.

"Ini bukan sekadar angka statistik, ini kegagalan sistemik! Mau sampai kapan bangsa ini pura-pura tidak tahu kalau link and match pendidikan dengan dunia kerja itu macet total?," lanjut Nurhadi.

Lebih lanjut, dia mengatakan penetapan upah bagi lulusan sarjana yang tak jauh beda dengan lulusan SMA sama dengan merampok hak warga negara. Sebab, dengan lulusan sarjana ingin dapat penghidupan layak dengan kualitas hidup lebih baik. 

Kata dia, alih-alih efisiensi, malah kondisi itu merampas martabat intelektual lulusan sarjana. 

“Kalau lulusan S1 dipaksa kerja dengan upah setara lulusan SMA, itu bukan efisiensi, itu perampasan martabat intelektual!” tuturnya. 

"Banyak sarjana menolak kerja bukan karena mereka malas. Tapi, karena sistem dunia kerja kita melecehkan kompetensi," imbuh Nurhadi.

Nurhadi mengatakan bahwa gaji yang tak layak, posisi yang tak sesuai latar belakang akademik, dan orientasi perusahaan yang hanya mau tenaga murah sama saja merebut hak dasar warga negara. 

"Untuk itu negara harus hadir. Jangan hanya jadi penonton pasar yang kejam," jelas Nurhadi. 

Nurhadi bilang jangan juga salahkan lulusan sarjana jika enggan bekerja di daerah. Hal itu lantaran kurangnya aspek-aspek penghidupan yang layak di tengah arus globalisasi. 

Sebab, itu bukan salah mereka. Tapi, kata dia, hal itu karena negara yang membiarkan ketimpangan terus berlanjut setiap tahunnya. 

"Kalau daerah tak manusiawi buat hidup, jangan salahkan anak muda yang enggan tinggal di sana. Pemerintah jangan cuma nyuruh pindah ke desa, tapi fasilitas hidup di desa tidak dapat menjangkau kebutuhan mereka,” ujar Nurhadi.

Nurhadi memberi perumpamaan tentang produktivitas SDM saat ini yang tak dibarengi dengan penyiapan lapangan pekerjaan.

“Kita ini sedang panen sarjana tapi ladangnya kosong! Seharusnya Pemerintah sudah mempersiapkan sejak jauh hari demi memberdayakan SDM-SDM muda Tanah Air,” ujar Nurhadi.

Dia pun mendorong transformasi ketenagakerjaan yang bukan hanya menyerap jumlah. Tapi, juga tepat guna. Nurhadi mengingatkan Pemerintah untuk tidak membiarkan anak-anak muda berpendidikan tinggi terseret arus fenomena’ kerja apa saja', hanya karena sistemnya tak adil dan negara gagal mengatur lapangan kerja berbasis kompetensi. 

"Kami tak akan diam melihat angka 1 juta sarjana menganggur. Ini bukan sekadar masalah ekonomi, ini bom sosial, ini bentuk pengabaian terhadap generasi emas bangsa," tuturnya.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan terbaru yang menyebut jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang per Februari 2025. Dari jumlah itu, sebanyak 1,01 juta di antaranya merupakan lulusan universitas alias sarjana.

Data tersebut ditampilkan Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli saat menyampaikan sambutannya dalam acara Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun INDEF 2025, Rabu (2/7). 

Berdasarkan data BPS yang ditampilkan Menaker, tercatat tingkat pengangguran pada Februari berada di angka 4,76 persen dari angkatan kerja Indonesia berdasarkan status pendidikannya. 

Di jajaran pertama, jumlah pengangguran paling banyak berasal dari status pendidikan SD dan SMP sebanyak 2,42 juta orang. Di posisi kedua, ada masyarakat dengan status pendidikan SMA sebanyak 2,04 juta. 

Pada posisi ketiga, pendidikan SMK menyumbang pengangguran sebanyak 1,63 juta orang. Lalu, disusul lulusan universitas ada sebanyak 1,01 juta orang. Terakhir ada lulusan diploma dengan sumbangsih 177,39 ribu orang pengangguran. 
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya