Mengapa G30S PKI Bisa Terjadi? Begini Penjelasan Sejarahnya
- YouTube tvOnenews
Jakarta, VIVA – Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI) menjadi salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada malam 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965, ketika enam jenderal dan satu perwira militer diculik serta dibunuh oleh kelompok yang menamakan diri mereka “Gerakan 30 September”.
Namun, hingga kini, perdebatan mengenai latar belakang, aktor, dan motif di balik peristiwa tersebut masih terus berlangsung. Sejarawan menilai G30S PKI tidak bisa dipandang sebagai aksi tunggal PKI, melainkan melibatkan dinamika politik yang kompleks saat itu.
Menurut catatan Ensiklopedia Nasional Indonesia, pada masa itu Indonesia berada dalam situasi politik yang sangat tegang. PKI mengalami perkembangan pesat dengan dukungan besar dari kalangan buruh dan petani.
Di sisi lain, Angkatan Darat menilai pengaruh PKI semakin mengancam. Ketegangan ini semakin diperparah oleh kondisi ekonomi yang memburuk serta pengaruh Perang Dingin, di mana blok Barat dan Timur berebut pengaruh di Indonesia.
Pasca peristiwa ini, Angkatan Darat di bawah Mayor Jenderal Soeharto bergerak cepat mengambil alih kendali. PKI kemudian dituduh sebagai dalang utama, yang berujung pada pembubaran partai tersebut serta gelombang kekerasan massal terhadap anggota dan simpatisan PKI di berbagai daerah.
Latar Belakang Politik di Era Soekarno
Pada awal 1960-an, Indonesia berada di bawah sistem Demokrasi Terpimpin yang dipimpin Presiden Soekarno. Ia berusaha menjaga keseimbangan antara tiga kekuatan besar: nasionalis, militer, dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
PKI pada saat itu merupakan salah satu partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan Tiongkok, dengan jutaan anggota dan simpatisan. Kedekatan Soekarno dengan PKI membuat Angkatan Darat merasa cemas, terutama setelah muncul gagasan "Angkatan Kelima" yang akan melibatkan buruh dan tani bersenjata.
Sejarawan Harold Crouch dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia menjelaskan bahwa militer sejak masa Demokrasi Terpimpin sudah memainkan peran politik yang besar. Situasi ini menimbulkan ketegangan antara kepentingan militer dan PKI, yang akhirnya memperburuk stabilitas politik nasional.
Faktor Ekonomi dan Ketidakpuasan Sosial
Selain konflik politik, kondisi ekonomi Indonesia pada awal 1960-an juga memburuk. Inflasi mencapai ratusan persen, harga kebutuhan pokok melonjak, dan kehidupan rakyat semakin sulit.
Dalam situasi krisis seperti itu, ketidakpuasan masyarakat mudah dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk memperkuat posisi politiknya.
Versi resmi rezim Orde Baru menyebut bahwa PKI adalah dalang tunggal G30S. Narasi ini kemudian digunakan untuk membenarkan penumpasan PKI dan pembersihan massal terhadap siapa pun yang dituduh simpatisan komunis.
Namun, banyak penelitian pascareformasi menunjukkan bahwa peristiwa ini jauh lebih kompleks. Sejarawan John Roosa dalam Pretext for Mass Murder menegaskan bahwa walaupun ada keterlibatan unsur PKI, sulit membuktikan bahwa partai tersebut sepenuhnya menjadi otak peristiwa G30S.
Sejarah Peristiwa G30S PKI
Pada malam 30 September 1965, sekelompok pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa, melakukan penculikan terhadap tujuh perwira tinggi Angkatan Darat di kediamannya.
Para jenderal didatangi dengan alasan dipanggil menghadap presiden, namun kemudian diculik, dibunuh, dan jenazahnya dibuang di Lubang Buaya, Jakarta Timur, serta Desa Kentungan, Yogyakarta.
Gerakan ini juga sempat menduduki Radio Republik Indonesia (RRI) untuk menyiarkan pengumuman bahwa kekuasaan telah diambil alih.
Namun, RRI segera direbut kembali oleh pasukan di bawah Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad, yang kemudian mengumumkan berhasil menumpas G30S melalui siaran radio pada 1 Oktober 1965 pukul 21.00 WIB.
Tujuh Pahlawan Revolusi
Dalam peristiwa ini, tujuh perwira tinggi TNI Angkatan Darat gugur dan kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi. Mereka adalah:
- Jenderal Ahmad Yani (Panglima Angkatan Darat)
- Letnan Jenderal Suprapto (Kepala Staf Angkatan Darat)
- Letnan Jenderal M.T. Haryono (Kepala Staf Umum Angkatan Darat)
- Letnan Jenderal S. Parman (Kepala Badan Pusat Intelijen Angkatan Darat)
- Mayor Jenderal D.I. Panjaitan (Asisten I Kepala Staf Angkatan Darat)
- Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo (Komandan Cadangan Strategis Angkatan Darat)
- Kapten Pierre Tendean (ajudan Jenderal Besar A.H. Nasution)
Dalam peristiwa ini, Jenderal A.H. Nasution menjadi target penculikan namun berhasil selamat. Putrinya, Ade Irma Nasution, serta ajudannya, Pierre Tendean, menjadi korban dalam peristiwa berdarah tersebut.