Pakar: Isu Pemakzulan Presiden Tak Punya Basis Konstitusional, Hanya imajiner belaka

Sidang Paripurna MPR. (Foto ilustrasi)
Sumber :
  • VIVAnews/Anwar Sadat

Jakarta - Isu pemakzulan Presiden RI Jokowi tengah jadi perhatian karena dimunculkan sejumlah tokoh dalam Petisi 100 yang mendatangi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Pakar hukum tata negara pun beri pandangannya atas isu pemakzulan Presiden.

DPR Sahkan Pansus Penyelesaian Konflik Agraria

Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid menilai pemakzulan terhadap Jokowi mesti memenuhi anasir absolut yang bersifat measurable. Menurut dia, measurable itu dengan terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara; korupsi; penyuapan; tindak pidana berat lainnya; atau perbuatan tercela.

"Maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dan, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi mutlak tingkat keterbuktiannya attainable. Artinya di luar article of impeachment sebagaimana rumusan konstitusi itu. Maka, tak cukup alasan atau berdasar untuk melakukan pemakzulan presiden," kata Fahri, dalam keterangannya dikutip dari tvonenews, pada Kamis, 18 Januari 2024.

DPR Selesaikan 16 RUU Sepanjang Sidang 2024-2025

Fahri berpandangan manuver yang dilakukan pihak pengaju petisi 100 itu sifatnya politis. Ia menduga gerakan petisi 100 itu tujuannya lebih berorientasi terhadap upaya mendelegitimasi Pemilu 2024.

"Ini sangat destruktif dalam upaya membangun demokrasi konstitusional saat ini. Sebab, secara konstitusional discourse terkait pemakzulan presiden tidak mempunyai basis legal konstitusional, sehingga bernuansa imajiner belaka," sebutnya.

Komisi VI DPR Sepakati RUU BUMN Dibawa ke Paripurna

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid.

Photo :
  • Istimewa.

Pun, dia menuturkan  lembaga pemakzulan Presiden sudah diatur secara limitatif dalam konstitusi yaitu dalam UUD 1945 seperti ketentuan norma Pasal 7A dan 7B. Aturan pasal itu berisi sebagai berikut.

"Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden" selanjutnya "Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden".

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya