Regulasi Hambat Pengembangan Migas Non Konvensional RI

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar.
Sumber :
  • ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyatakan pengembangan sumber daya minyak dan gas bumi (migas) non konvensional seperti shale gas (gas serpih) dan shale oil (minyak serpih) di Indonesia selama ini terbentur regulasi.

Gandeng Perusahaan Korsel, Patra Drilling Contractor Segera Kelola Unit Usaha Baru

Dia membandingkan hal itu dengan sistem regulasi di Amerika Serikat (AS) yang lebih cepat di mana hanya butuh waktu dua minggu untuk mendapatkan izin pengembangan shale gas maupun shale oil. Sedangkan, Indonesia butuh waktu dua tahun untuk perizinan hingga proses drilling.

"Coba dibayangkan di west texas, untuk drilling less than two weeks all kind of permits (seluruh izin). Di Indonesia saat sekarang mungkin, untuk drilling activity take more than dua year. Ini dua tahun compare two weeks," kata Arcandra di The Dharmawangsa, Jakarta, Kamis 19 April 2018.

Hilirisasi Migas Bisa Dongkrak Ekonomi RI, Pemerintah Diharap Siapkan Regulasi Pendukung

Menurutnya, pengembangan shale oil dan shale gas di Indonesia bisa menjadi distrupsi atau gangguan jika proses bisnisnya masih sama dengan rezim terdahulu. "Kalau proses bisnisnya masih sama saya jadi pesimis," ujarnya.

ilustrasi industri migas.

Kumpulkan Pelaku Industri Migas dan CERI, Kemenperin Ungkap Konsekuensi Jika TKDN Tak Diterapkan

Dia menjelaskan, 'game' dari shale oil adalah kecepatan dari melakukan drilling. Sebab, kurva penurunan cadangan atau decline curve-nya sangat tajam.

"Setahun sangat curam sekali (decline curve). Maka diperlukan drilling well (sumur baru) selanjutnya. Pattern-nya berpacu dengan waktu agar decline-nya curve-nya ditahan dari well (sumur) yang lain," ujarnya.

Arcandra pun mengungkapkan keberhasilan Amerika dalam pengembangan shale oil dan shale gas mampu mendorong produksi minyaknya mencapai 9,5 juta barel per hari (bph). Pelaku usaha shale oil di AS itu, imbuhnya, justru berasal dari perusahaan kelas menengah bahkan UMKM.

"Kelasnya mid cap company. Dan banyak juga yang UMKM, pelaku usaha kecil. Kebebasan dapat permit yang simple, dapat berpacu sehingga yang kecil-kecil itu dapat didevelop," ujarnya.

Menurutnya, rezim kontrak migas seperti gross split dapat menjadi salah satu solusi pengembangan shale oil di Indonesia ketimbang menggunakan rezim kontrak sebelumnya, cost recovery. Ia mendorong penuh percepatan pengembangan teknologi dan pengusaha kecil migas di tanah air.

"Solusinya gross split. Dengan gross split, cost bukan lagi part of government budget. Teknologi yang pas untuk sebuah lapangan diberi flexibility untuk sebuah teknologi. Karena tanpa teknologi shale oil enggak bakal terjadi," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya