Indef Sebut Kabinet Gemuk Prabowo Lawan Trend Global

Presiden RI Prabowo Subianto bersama jajaran Menteri Kabinet Merah Putih.
Sumber :
  • istimewa

Jakarta, VIVA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti, soal gemuknya Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto. Gemuknya kabinet ini disebut berlawanan dengan tren global, dan akan menghambat pengambilan keputusan pemerintah.

Temui Prabowo di Hambalang, Utusan PM Inggris Jajaki Buka Kampus Top UK di RI

Guru Besar, Universitas Paramadina, Ahmad Badawi Saluy mengatakan gemuknya kabinet ini bisa menghambat pengambilan keputusan atau isu-isu strategis. Sebab jadwal pertemuan akan semakin padat, sementara waktu presiden juga terbatas.

"Setiap rapat kabinet seringkali menyerupai seminar nasional, alih alih forum pengambilan keputusan strategis yang efisien. Tentu butuh penyesuaian peraturan-peraturan dari pemerintahan sebelumnya akibat perubahan nomenklatur K/L, diperkirakan butuh waktu 2 tahun untuk penyamaan frekuensi semuanya. Pendek kata, untuk lari cepat pemerintah akan terhambat," ujar Badawi dalam keterangannya Jumat, 28 Februari 2025.

PPP Respons Terobosan Diplomasi Ala Prabowo soal Kemerdekaan Palestina: Israel Harus Dihukum

Badawi menilai, trend gemuknya kabinet di Indonesia berlawanan dengan tren global di mana jumlah kabinet dirampingkan. Misalnya saja Argentina, pada 2023 telah memangkas jumlah kementerian yang sangat signifikan. 

"Setelah terpilih, presiden Argentina Javier Milei yang dilantik 10 Desember 2023 telah memangkas jumlah kementerian dari 21 menjadi hanya 11 Kementerian, untuk memangkas birokrasi dan menyederhanakan pelayanan publik. Hal serupa juga diikuti Donald Trump dengan membentuk Department of government efficiency board yang department itu dipimpin oleh Elon Musk seorang entrepreneur," jelasnya.

Fadli Zon: Macron Berhasil Sentuh Patung Budha di Borobudur

Selain itu, Vietnam juga berencana memangkas jumlah kementerian untuk memperkuat koordinasi dan kinerja kabinet dari 30 menjadi 21 kementerian saja. Hal itu dilakukan untuk mempercepat daya saing.

Lebih lanjut, Badawi mengatakan bahwa Purchasing Manager Index (PMI) Industri manufaktur Indonesia telah mengalami stagnan di 2020 akibat COVID-19, DAN pada 2024 PMI  menunjukkan tren meningkat sesuai dengan tren global. 

"Namun pada 2025 ada penurunan dibanding 2024 yang merupakan sinyal kurang baik bagi industri nasional," katanya

Menurutnya, terdapat kesenjangan pertumbuhan pada sektor tenaga kerja yang mestinya berkontribusi besar pada sektor industri pengolahan. Dia menilai, industri pengolahan belum optimal menyerap tenaga kerja sebesar sektor pertanian. 

"Perlu kebijakan yang mampu mendorong optimalisasi labour intensive industrialization. Beberapa sektor industri terlihat cukup struggling/ berdarah-darah seperti industri tekstil," imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya