Mengapa Letusan Gunung Api Susah Diprediksi?

Pemerintah naikan status gunung agung
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana

VIVA – Gunung Agung telah meletus Sabtu akhir pekan lalu. Erupsi gunung tertinggi di Bali itu terjadi setelah hampir sebulan setelah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menurunkan status dari level IV (Awas) menjadi level III (Siaga).

Waspada, Aktivitas Gunung Marapi Cenderung Meningkat Akhir-akhir Ini

PVMBG menurunkan status Gunung Agung pada Minggu 29 Oktober 2017. Sebelumnya PVMBG menetapkan status awas Gunung Agung pada 22 September 2017.

Memprediksi kapan gunung api meletus memang tergolong sangat susah. Ahli vulkanologi mengakui tidak bisa dengan persis menyebutkan kapan gunung api meletus. 

PVMBG Naikkan Status Vulkanik Gunung Iya di Ende NTT

"Susah untuk memprediksi letusan sebuah gunung api. Sulit juga untuk memperkirakan bagaimana letusan akan berkembang setelah letusan terjadi," ujar ahli gunung api Universitas Teknologi Michigan, Amerika Serikat, Simon Carn, dikutip dari Popsci, Selasa 28 November 2017. 

Dalam konteks pengamatan potensi letusan gunung api, Carn menuturkan, vulkanolog mendasarkan analisisnya pada pengamatan aktivitas gunung api, dan melihat apa yang sudah terjadi pada gunung api. Selanjutnya pengamatan aktivitas yang sudah terjadi itu, menjadi bekal untuk memprediksikan apa yang bakal terjadi pada gunung api. 

Gambar Satelit Dahsyatnya Erupsi Gunung Berapi Bawah Laut di Tonga

Dia mengatakan, sulitnya memprediksi kapan letusan gunung api sama halnya dengan susahnya memprediksi kapan gempa bumi terjadi. Nyaris semua tidak akan bisa memprediksi kapan persisnya fenomena alam tersebut terjadi. 

Namun, vulkanolog bisa memperkirakan letusan dengan lebih baik, berbekal data material deposit dari letusan terakhir pada gunung api, dikolaborasikan data pengamatan langsung dari gunung api di belahan dunia. 
  
Memprediksi letusan gunung api berbeda dengan memprakirakan cuaca, yang mana lebih bisa diprediksi lebih baik, kapan terjadi hujan maupun badai bakal terjadi. 

Prediksi cuaca bisa lebih baik, sebab bahan analisisnya adalah udara terbuka yang bisa diamati dengan satelit dan teknologi lainnya. Kondisi ini berbeda dengan prediksi gunung api, yang mana utamanya adalah dinamika dalam perut gunung api. 

Sejauh ini belum ada teknologi yang bisa memantau dinamika di dalam perut gunung api yang lokasinya terlalu dalam. Untuk itu, vulkanolog hanya bisa mengandalkan pengamatan tak langsung, berupa dinamika yang ada di mulut gunung api. Vulkanolog seringkali mengandalkan deposit debu dan lumpur vulkanik, yang mengindikasikan pola letusan gunung api sebelumnya. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya