Tenun Bulu Jadi Highlight KHAYAE di IFW 2025: Wastra Nusantara yang Unik dan Underrated

KHAYAE di IFW 2025.
Sumber :
  • IFW.

Jakarta, VIVA – KHAYAE yang digawangi desainer-desainer perempuan, seperti Elok Re Napio, Mawadah Maslikhan Ilona, Yati Silvia dan Nathania Caya Dewi, turut mewarnai gelaran Indonesia Fashion Week (IFW), hari pertama pada 28 Mei 2025 di Plenary Hall Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta Pusat. 

Indonesia Fashion Week 2025 Buktikan Fashion Berkelanjutan Mampu Berdampak

Lewat koleksinya, KHAYAE mengeksplorasi hubungan antara manusia, lingkungan, dan identitas melalui interpretasi artistik terhadap berbagai habitat di dunia—dari rimba tropis, gurun yang sunyi, lautan dalam, hingga kota urban yang padat. Setiap segmen menampilkan bagaimana pakaian bisa menjadi "rumah" bagi ekspresi diri, budaya, dan alam yang membentuk manusia. Scroll untuk info lengkapnya, yuk! 

“Segmen yang kami angkat ini menyoroti hutan sebagai habitat alami dan spiritual tempat budaya leluhur tumbuh dan berakar. Hutan bukan hanya ruang ekologis, tetapi juga ruang sakral—tempat upacara adat, sumber daya alam, dan mitologi. Koleksi menggambarkan simbiosis antara manusia, alam, dan budaya melalui siluet yang menyerupai batang pohon, akar, lumut dan dedaunan,” ungkap Ilona. 

Pameran Barang-barang Kulit dan Aksesoris Mode Internasional Asal Italia Tampil di Indonesia

Untuk koleksi IFW 2025, tenun bulu menjadi highlight KHAYAE untuk keseluruhan look yang dipamerkan. Menurut sang desainer, tenun bulu dipilih karena memiliki karakteristik yang kuat, bertekstur alami, dan sangat representatif terhadap narasi akar budaya serta habitat hutan tropis Indonesia. 

CEO Pameran Mode Pria Paling Berpengaruh di Dunia Mampir ke IFW 2025

“Serat dan tampilan bulunya menggambarkan organik, akar, bahkan tekstur batang pohon—menguatkan imajinasi visual tentang rimba leluhur. Selain itu, tenun bulu adalah warisan wastra yang belum banyak dieksplorasi dalam konteks modest fashion kontemporer, sehingga koleksi ini sekaligus menjadi bentuk pengangkatan kembali potensi wastra nusantara yang unik dan underrated,” bebernya. 

Benang merah dari koleksi KHAYAE adalah tentang alam, karena alam dinilai menjadi habitat pertama manusia sekaligus akar budaya. Koleksi ini ingin mengingatkan bahwa budaya tidak lahir di ruang kosong—ia tumbuh dari hutan, tanah, air, dan siklus kehidupan. 

“Mengusung alam juga menjadi bentuk fashion storytelling yang relevan dengan isu zaman: perubahan iklim, keberlanjutan, dan hubungan spiritual manusia dengan lingkungan. Koleksi ini bukan hanya estetika, tetapi ajakan untuk membaca ulang tradisi dari sudut pandang ekologis,” tuturnya. 

Tidak hanya tema, KHAYAE bahkan menggunakan pewarna alam yang sejatinya belum cukup 'seksi' di pasar Indonesia. Namun, mereka menegaskan bahwa penggunaan pewarna alam merupakan perwujudan sikap, bukan sekadar estetika. 

“Kami sadar bahwa secara komersial pewarna alam masih menantang, tetapi justru karena itu penting untuk diangkat. Pewarna alam menyimpan pengetahuan leluhur, lebih ramah lingkungan, dan memberi nuansa warna yang hidup dan jujur. Memang, harganya lebih tinggi karena prosesnya panjang dan handmade, tapi kami ingin mengedukasi pasar bahwa value tidak hanya di harga, melainkan di cerita, proses, dan dampak jangka panjangnya terhadap bumi dan budaya,” pungkasnya. 

Lewat koleksi Habitat, KHAYAE ingin generasi muda melihat bahwa fashion bukan hanya tentang tren, tapi tentang identitas dan keberlanjutan. 

“Kami ingin menginspirasi mereka untuk berani mengeksplorasi tradisi dengan sudut pandang baru, berani memakai busana yang punya makna, dan menjadi konsumen yang sadar bahwa pilihan mereka punya dampak. Tradisi bukan sesuatu yang kuno—ia hidup, selama kita menjaganya dan mengemasnya dengan bahasa zaman,” tutupnya. 

Koleksi yang dipamerkan terdiri dari gaun panjang dengan potongan flowy dan ujung yang menyerupai akar menjuntai, cape atau outer panjang menyerupai kanopi atau sayap burung hutan, serta atasan berbahan texture yang menyerupai tekstur kulit pohon.

Sementara untuk material dan teknik, mereka memilih serat alam untuk tenun bulu dan kain daur ulang, felted technique, menciptakan efek moss (lumut) atau permukaan pohon, dan teknik timbul serta sulam, menciptakan siluet akar, dedaunan, dan makhluk hutan seperti kupu-kupu, tokek, dan burung.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya