Ramai Produk Bersertifikat Halal, Ini Definisi dan Kriteria yang Masuk di Dalamnya
- istimewa.
Jakarta, VIVA – Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Muslim. Oleh karena itu, produk bersertifikat halal sudah menjadi kewajiban yang harus dipenuhi setiap pelaku usaha.
Baru-baru ini bahkan ramai di mana Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) menemukan sejumlah produk yang tidak bersertifikat halal. Lalu, sejauh mana definisi halal yang dimaksud? Scroll untuk informasi selengkapnya, yuk!
Dewan Pengawas Syariah DSN-MUI, Fauzan Sugiyono mengatakan, halal secara bahasa artinya boleh. Sementara itu, kebalikannya yaitu haram berarti tidak boleh. Lebih lanjut, halal sendiri terdiri dari beberapa definisi.
“Halal itu terbagi menjadi beberapa, yang pertama halal secara zatnya, fisiknya halal. Makanan yang sudah jelas seperti singkong, ubi, buah, itu sudah jelas. Nah halal secara zat atau fisik sudah tidak diragukan lagi itu halal,” ujar Fauzan di acara Halal Bihalal bersama media yang digelar Herbalife di Jakarta, Kamis 24 April 2025.
Definisi halal kedua yaitu berkaitan dengan proses produksi sebuah makanan, apakah tercampur dengan zat atau bahan yang haram atau tidak.
“Proses produksinya tercampur gak dengan zat-zat atau bahan-bahan yang bisa membuat bahan pokoknya sebenernya halal tapi prosesnya yang sebenernya membuat tidak halal. Sehingga dipastikan bahwa sebuah produk jangan sampai proses dalam meng-create sebuah produk itu tercampur dengan hamr (minuman keras), disembelihnya betul-betul sesuai dengan ajaran Islam atau tidak, karena kalau dalam Islam harus terpotong urat nadinya,” bebernya.
“Baik nadi yang sifatnya untuk makanan atau napas. Juga dengan membaca Basmalah, juga tidak boleh ada unsur-unsur khinzir atau babi. Sehingga dari zatnya sudah dipastikan halal, proses produksinya juga halal, nanti hasilnya juga akan halal,” tambahnya.
Selain sertifikat halal, sertifikat syariah juga tidak kalah penting. Sertifikat syariah sendiri merupakan jaminan tertulis yang menyatakan bahwa suatu produk, layanan, atau model bisnis sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, yang dikeluarkan oleh otoritas syariah yang berwenang seperti Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Dewan Pengawas Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia-DSN-MUI, KH. Dr. Moch Bukhori Muslim, menjelaskan pentingnya sertifikasi Syariah bagi perusahaan.
“Sertifikasi Syariah merupakan langkah positif yang menunjukkan keseriusan dalam menjalankan bisnis yang bertanggung jawab dan sesuai dengan nilai-nilai universal kebaikan dan keadilan. Sertifikasi ini akan mampu memberikan rasa aman dan kepercayaan bagi seluruh konsumen, tidak hanya Muslim, tapi juga terhadap produk dan bisnisnya,” ungkapnya.
Sertifikat Syariah dari DSN-MUI diberikan kepada perusahaan yang memenuhi serangkaian persyaratan ketat. Persyaratan ini mencakup kriteria spesifik seperti model bisnis dan pemasaran, kepatuhan produk, sertifikasi halal dari BPJPH untuk makanan, minuman, kosmetik, dan farmasi, serta bukti keanggotaan dalam Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI).
Berada di tempat yang sama, Direktur & General Manager Herbalife Indonesia, Oktrianto Wahyu Jatmiko, menyampaikan bahwa Herbalife Indonesia baru saja mengantongi Sertifikasi Syariah dari DSN-MUI.
“Sertifikasi Syariah ini merupakan tonggak penting dalam perjalanan Herbalife Indonesia untuk menyediakan solusi nutrisi terpercaya yang sesuai dengan nilai-nilai Syariah bagi masyarakat Indonesia. Ini adalah bukti komitmen kami untuk memenuhi kebutuhan konsumen Muslim di Indonesia, serta memberikan jaminan bahwa seluruh operasional bisnis kami telah sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah,” ujarnya.
Lebih lanjut, Oktrianto menjelaskan bahwa Sertifikasi Syariah ini melengkapi Sertifikasi Halal yang telah diperoleh sebelumnya untuk seluruh produk Herbalife.
“Hal ini memberikan jaminan tambahan bagi konsumen di Indonesia bahwa produk Herbalife tidak hanya halal, tetapi juga dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah,” pungkas Oktrianto.