Nukila Evanty, Membangun Harapan Baru untuk Komunitas Suku Laut

Nukila Evanty
Sumber :
  • ist

VIVA – Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya dan suku bangsa. Salah satu suku yang memiliki ciri khas dan identitas kuat adalah Suku Laut, yang tersebar di wilayah Riau dan Kepulauan Riau. Suku ini hidup sangat dekat dan menyatu dengan laut, baik secara fisik maupun spiritual. Bagi mereka, laut bukan sekadar tempat mencari nafkah, melainkan sumber kehidupan, cahaya, dan bahkan masa depan. Meski sebagian dari mereka telah menetap di darat, lautan tetap menjadi tempat kembali yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Ungkapan sederhana dari mereka adalah: "tak ada kehidupan tanpa laut."

Experience Macao Mega Sale Kembali Sambangi Jakarta, Hadirkan Beragam Atraksi hingga Promo Liburan Menarik

Dalam beberapa tahun terakhir, Nukila Evanty, seorang aktivis hak-hak masyarakat adat sekaligus Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA), telah turun langsung melakukan penelitian, advokasi, dan penguatan kapasitas untuk Suku Laut di Kepulauan Riau. Upaya ini dilakukan di tengah ancaman serius dari berbagai proyek pembangunan, industri ekstraktif yang semakin meluas, serta praktik illegal fishing yang kian merajalela.

Kehidupan Suku Laut terbagi antara laut dan pesisir. Mereka yang tinggal di laut umumnya hidup di atas perahu dan berpindah-pindah lokasi, menjalani kehidupan nomaden sebagai nelayan tradisional. Perahu mereka beratapkan kajang—atap dari daun rumbia—yang bukan hanya berfungsi sebagai pelindung, tapi juga sebagai simbol keluarga dan kebanggaan.

Kades Kohod Didakwa Jualbelikan Lahan Laut Jadi Daratan Fiktif

Di sisi lain, Suku Laut yang tinggal di wilayah pesisir biasanya menetap di rumah-rumah panggung yang berdiri di tepi atau di atas air laut. Meski lebih menetap, mata pencaharian mereka tetap bergantung pada laut, seperti menangkap ikan, berdagang hasil laut, dan kegiatan ekonomi kelautan lainnya.

Tradisi turun-temurun tetap dijaga, salah satunya teknik menangkap ikan dengan cara menombak pada malam hari, setelah pukul 12, dengan penerangan dari lampu petromak. Hasil tangkapan biasanya ditukar dengan beras. Namun, praktik ini semakin sulit dilakukan karena keberadaan kapal-kapal besar dengan alat tangkap destruktif seperti pukat harimau yang merusak habitat ikan.

Siap Kontribusi di Sektor Ekonomi hingga Budaya RI, MAKN Gelar Deklarasi 2025

Kondisi ini diperparah dengan maraknya kegiatan penangkapan ikan ilegal dan pencemaran laut oleh limbah industri. Hal ini diungkapkan langsung oleh Amid, salah satu anggota Suku Laut yang tinggal di rumah panggung di Teluk Paku, Pulau Batam.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya