Ekowisata Disebut Jadi Jalan Baru Pariwisata Indonesia
- ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
Jakarta, VIVA – Meski Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan alam dan budaya terbesar di dunia, potensi tersebut dinilai masih jauh dari optimal.
Padahal dari ratusan gunung berapi, garis pantai ribuan kilometer, hingga satwa endemik seperti gajah, harimau, dan badak, semua menyimpan potensi besar untuk dikembangkan menjadi ekowisata. Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, Prof Ricky Avenzora, menilai pariwisata Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara tetangga.
“Kita punya kekayaan luar biasa, tetapi yang muncul justru konflik manusia dengan satwa liar, kerusakan alam, dan distribusi manfaat pariwisata yang tidak adil. Masyarakat kecil hanya mendapat recehan,” kata Ricky dikutip Jumat, 26 September 2025.
Ricky menekankan perlunya perubahan cara pandang dalam berwisata. Katanya, rekreasi dan pariwisata tidak boleh hanya dimaknai sebagai kebebasan bepergian.
"Harus diubah menjadi perjalanan berkesadaran yang memberi manfaat bagi semesta. Itulah ekowisata,” kata dia.
Selain potensi alam, Ricky juga menyoroti kekayaan budaya Nusantara yang belum tergarap serius. Dengan lebih dari 1.300 etnis, ratusan seni bela diri, permainan tradisional, hingga ribuan folklor, Indonesia seharusnya mampu menciptakan industri kreatif kelas dunia.
Ricky menyoroti ada tiga masalah besar yang menghambat laju pariwisata Indonesia, pertama devisa dan jumlah wisatawan masih kalah dari negara tetangga; kedua potensi alam dan budaya banyak mengalami kerusakan; ketiga, manfaat pariwisata lebih banyak dinikmati kalangan menengah-atas, sementara masyarakat kecil justru tertinggal.
Dia menegaskan pengembangan pariwisata harus berpihak pada masyarakat lokal. Ia juga menekankan pentingnya sektor swasta sebagai motor penggerak.
“Indonesia hanya punya sedikit pengusaha wisata menengah-atas yang konsisten mengembangkan ekowisata. EIGER adalah salah satunya, dan semestinya didukung penuh pemerintah,” katanya.
Sebaliknya, ia mengkritik praktik penyegelan dan pencabutan izin usaha wisata yang masih terjadi di sejumlah daerah. Menurutnya, langkah tersebut justru merugikan banyak pihak.
"Pola hentikan dan bongkar adalah bentuk arogansi jabatan yang secara hukum tidak dibenarkan, serta secara sosial-ekonomi sangat merugikan masyarakat luas dan juga negara,” ujarnya.
Sebagai jalan keluar, Ricky menawarkan sejumlah langkah strategis, mulai dari academic reengineering di bidang pariwisata, pergeseran paradigma pembangunan, hingga regulasi yang lebih ramah terhadap masyarakat dan dunia usaha.
“Ekowisata bukan hanya tentang menjaga alam, tapi juga cara untuk menemukan jati diri, melestarikan budaya, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat," ujar dia.