Keren, RS Terbaik di Papua Barat Ternyata Ada di Pedalaman
- VIVA/Tasya Paramitha
VIVA – Dibandingkan kabupaten lain di Papua Barat, Manokwari bisa dibilang lebih ramai dan memiliki infrastruktur yang lengkap. Tentu saja hal ini dikarenakan Manokwari merupakan ibu kota Provinsi Papua Barat.
Namun, siapa sangka jika RS terbaik di Papua Barat tidak berdiri di Manokwari, melainkan berlokasi di kabupaten yang letaknya terpencil dengan akses yang masih sulit.
Ya, dari 16 RS yang ada di Papua Barat, Rumah Sakit Umum (RSUD) Teluk Bintuni yang ada di Jalan Raya Sibena KM 7 merupakan satu-satunya RS yang memiliki status akreditasi Paripurna. Status tersebut baru diberikan pada tahun 2018 ini pada rumah sakit kelas C itu.
Baru-baru ini VIVA berkesempatan mengunjungi RSUD Teluk Bintuni. Untuk menuju ke sana, kami harus melakukan perjalanan darat dari Manokwari dengan medan yang cukup berat. Jarak yang harus kami tempuh sekitar 303 kilometer dan 30 persen jalan Trans Papua yang menghubungkan Manokwari dan Bintuni masih berupa tanah.
Hal itu membuat kami harus menghabiskan kurang lebih delapan jam berkendara menggunakan kendaraan khusus yang bisa menerjang kondisi jalanan off-road. Jika cuaca tak bersahabat dan hujan turun, waktu di perjalanan tentu saja akan lebih lama lantaran sulitnya menerobos jalanan tanah dalam kondisi basah dan licin.
Kembali ke RSUD Bintuni. Pantauan kami, rumah sakit yang aktif sejak tahun 2011 lalu itu terbilang luas dan besar untuk ukuran rumah sakit yang ada di daerah terpencil. Fasilitasnya pun cukup lengkap. Luas bangunan 5.000 meter persegi dan tanahnya seluas 50.000 meter persegi.
Direktur RSUD Teluk Bintuni, Eka Widrian Suradji, MD.,Phd., mengatakan bahwa RS tersebut memiliki 255 tenaga kerja dan 12 dokter spesialis. Mereka juga punya Unit Gawat Darurat (UGD), rawat inap sampai kelas VIP, Obgyn, laboratorium, bagian tranfusi darah dan gedung khusus bedah.
"Kami juga satu-satunya RS yang CT Scan-nya aktif di Papua Barat," ujar Eka kepada VIVA di Teluk Bintuni, Papua Barat.
Alat CT Scan seharga Rp3,6 miliar itu hingga saat ini telah digunakan sekitar 30 orang pasien per bulannya.