Cara Hadapi Anak Teroris, Jangan Samakan dengan Orangtuanya
- Bayu Nugraha - VIVA
VIVA – Aksi radikalisme yang melibatkan wanita dan anak-anak meresahkan banyak kalangan. Seperti peristiwa bom bunuh diri di Surabaya beberapa waktu lalu. Kepolisian menyatakan bahwa pelaku diduga merupakan satu keluarga, terdiri dari suami istri, dan anak-anak mereka.
Pada peristiwa teror bom di Mapolrestabes Surabaya, Senin, 14 Mei 2018, terdapat satu orang anak usia 8 tahun berinisial AAP yang lolos dari ledakan. Bocah itu merupakan anak terduga pelaku teror yang tewas, bersama pasangan dan dua anaknya yang lain.
Jika benar AAP adalah anak terduga teroris, maka dapat diasumsikan ia setidaknya pernah terpapar paham radikal dari pendidikan orangtuanya. Apalagi AAP diajak bersama dua saudaranya, membawa bom ke markas Kepolisian untuk diledakkan.
Doktrin atau pemahaman radikal yang ditanamkan pada anak akan sulit dihapus. Terlebih jika doktrin tersebut berasal dari lingkungan keluarga, khususnya orangtua yang seharusnya berperan sebagai pelindung. Namun hal itu bukan berarti tidak bisa disembuhkan.
Pakar psikologi dari Universitas Pancasila, Putri Langka mengatakan, cara yang paling tepat untuk melawan adalah dengan merangkul korban yang terpapar doktrin tersebut. “Mereka tidak boleh tumbuh dengan kita menyudutkan orangtuanya. Menyalahkan orangtuanya justru akan jadi bumerang, karena mereka pun tidak paham. Sebab, pengalaman mereka dengan orangtuanya positif. Karena itu caranya adalah harus kita rangkul, selama masih anak-anak masih bisa kita urai meski butuh proses yang cukup panjang,” katanya saat ditemui VIVA, Senin, 16 Mei 2018.
Radikalisme membidik semua kalangan
Seperti yang terjadi belakangan ini, kata Putri, para pelaku teror berusaha mencakup semua kalangan dengan pola perekrutan bisa siapa saja, termasuk kaum ibu dan anak-anak. “Sebetulnya doktrin enggak sekali langsung jadi. Pasti ada tahapan-tahapannya yang secara berkala atau konsisten yang ditanamkan seperti itu sehingga orang yang tadinya enggak tertarik jadi tertarik karena fakta versi mereka (pelaku),” ujarnya menjelaskan.
Kondisi seperti ini, lanjut Putri, jika terus dihadapi oleh si pendengar maka akan memberi pengaruh yang akhirnya dipercaya sebagai sebuah kebenaran. “Cerita-cerita yang disampaikan itu bisa membuat orang berfikir ulang. Nah, ketika melihat ada ketertarikan seperti itu, dia bisa mencoba untuk melihat ke dalam seperti apa dan orang punya yang namanya selektif perspektif. Kalau ini cocok akan mencari hal itu sampai percaya, dan itu yang dianggap adalah kebenaran,” ujarnya.