Pasar Digital Payment RI Masih 1 Persen
- VIVA/M Ali Wafa
Sebab, hingga saat ini, Bank Indonesia baru memberikan izin lisensi ke 26 perusahaan yang bisa melakukan transaksi digital payment. Ada yang dari sektor perbankan, telekomunikasi hingga layanan aplikasi berbasis transportasi.
Masing-masing dari mereka ini membawa use case-nya sendiri-sendiri. Kalau use case-nya terkotak-kotak maka jadi susah. Yang pada akhirnya, lama-lama akan mengerucut menjadi beberapa pemain saja.
Enggak ada yang sampai 10, pasti 2 atau 3. Nah, siapa yang akan masuk di top 3, ditambah yang punya use case-nya besar, maka dia lah pemenangnya.
Harus diingat juga, kehadiran OVO bukan sebagai lawan bagi aplikasi yang lain. Tetapi, kami memberikan penawaran dan pengalaman yang berbeda bagi masyarakat Indonesia yang terintegrasi dan juga praktis.
Dukungan pemerintah melalui kebijakan. Menurut Anda sudah mendukung atau masih kurang?
Kami melihat memang diperlukan regulasi untuk menjaga industri ini. Karena berkaitan dengan layanan masyarakat. Jangan sampai kepercayaan masyarakat runtuh, misalnya terhadap financial technology atau fintech, yang merupakan bagian dari digital payment.
Karena ini kan dana dari masyarakat. Kalau enggak diatur akan berantakan. Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan bersama industri harus kerja sama. Apalagi fintech itu 'makhluk baru' di Indonesia.
Meski begitu, ada yang perlu diregulasi dan ada yang harus dibiarkan. Maksudnya dibiarkan di sini tujuannya supaya inovasi berkembang.
Karena, kalau semua serba diatur dan terlalu ketat maka inovasi enggak keluar. Kalau sudah begitu, lagi-lagi, dampaknya ke masyarakat juga yang kena.
Jangan sampai program ekonomi digital pemerintah ngadat gara-gara regulasi. Layu sebelum berkembang. Harus balance.
Anda melihat apa yang membedakan bank dengan fintech?
Begini. Apa tujuan bank meminta jaminan saat nasabah mau mengajukan pinjaman? Pastinya untuk jaminan. Kalau sampai gagal bayar maka jaminan bisa diambil. Damage lost bank akan berkurang.
Hanya saja, bank itu sebenarnya bisa tahu apakah seorang nasabah bisa membayar cicilan sampai lunas atau tidak. Karena mereka punya teknologi algoritma yang bisa 'baca' tingkah laku atau behaviour nasabah.
Lalu, apakah jaminan diperlukan? Sebenarnya enggak kalau mereka bisa tahu. But of course, di Indonesia teknologi semacam ini enggak ada infrastrukturnya.