Siap-siap Gaduh Gara-gara Reshuffle Kabinet
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro
VIVA – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengancam untuk merombak (reshuffle) kabinetnya bukan ultimatum samar-samar. Kepala Negara bahkan terang-terangan akan membubarkan lembaga yang dianggap tak maksimal bekerja, alih-alih sekadar mengganti menteri yang berkinerja buruk.
Jokowi mengungkapkan tanpa tedeng aling-aling bahwa sejumlah sektor pemerintahan yang kinerjanya dalam penanganan wabah virus corona ternyata jauh dari target, dan karenanya, solusinya adalah reshuffle. Anggaran penanganan Covid-19 di tiga sektor utama—kesehatan, perlindungan sosial, dan ekonomi—dialokasikan puluhan hingga ratusan triliun rupiah, Jokowi menalar, tetapi yang terserap minim sekali. Artinya, banyak program kerja tidak berjalan padahal uangnya telah disediakan.
Presiden memperingatkan dengan keras bahwa jangan sampai menunggu situasi benar-benar memburuk, apalagi sampai rakyat bertumbangan, untuk mengatasi pandemi dan dampak-dampaknya. Sekarang bukan saatnya bekerja biasa-biasa saja, tetapi harus luar biasa, karena situasinya memang tidak biasa.
Kapan Reshuffle dan Siapa?
Maklumat Jokowi tentang isyarat reshuffle itu sebenarnya awalnya untuk kalangan terbatas internal kabinet. Soalnya, Jokowi mengungkapkan itu di hadapan para menterinya di Istana Negara pada 18 Juni, dan tertutup untuk pers, tetapi rekaman videonya dipublikasikan oleh Sekretariat Presiden 10 hari kemudian. Tak pelak lagi, isu reshuffle segera menjadi konsumsi publik.
Tidak disebutkan menteri siapa saja yang Jokowi anggap kinerjanya payah. Namun petunjuknya cukup terang benderang, yakni tiga sektor utama—kesehatan, perlindungan sosial, dan ekonomi. Di bidang kesehatan, Jokowi mencontohkan, anggarannya Rp75 triliun (sesungguhnya Rp87,55 triliun setelah penambahan postur anggaran), tetapi yang terserap cuma 1,53 persen (naik 4,68 persen dalam 10 hari setelah teguran keras Jokowi).
Dalam bidang perlindungan sosial, Jokowi tak menyebut secara lugas, namun masih ditemui banyak kendala distribusi bantuan sosial dan belum 100 persen tersalurkan. Padahal, seharusnya sekarang sudah beres.
Di sektor ekonomi, Jokowi mengamati, anggaran untuk stimulus bagi usaha mikro, kecil, dan menengah, dan usaha berskala besar, termasuk perbankan, belum terserap maksimal. Padahal, stimulus itu begitu penting untuk mencegah atau mengurangi risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jangan sampai stimulus itu diberikan, Presiden memperingatkan, setelah semuanya terlambat—gelombang PHK tak terbendung.