Perempuan Indonesia Melawan Kesenjangan
- Ade Alfath/VIVA.co.id
VIVA.co.id – Tanggal 8 Maret kemarin, dunia memperingati Hari Perempuan Internasional. Hari itu, semua negara diajak melihat dan mengecek, di mana posisi perempuan dalam negara mereka. Bagaimana dengan Indonesia?
“Wanita dijajah pria sejak dulu. Dijadikan Perhiasan Sangkar Madu…” Syair lagu ciptaan Ismail Marzuki itu melekat abadi. Mesti alunan nadanya enak di dengar, namun syair yang menggambarkan relasi antara perempuan dan laki-laki di Indonesia masa tahun 1950-an itu kini sudah semakin tak relevan. Sejak Kartini membebaskan perempuan dengan membuatkan sekolah bagi mereka, arus deras yang meminta kesetaraan hak dan kesempatan antara perempuan dan laki-laki semakin tak terbendung.
Meski terus menderas, namun kisah perempuan di negara ini masih dominan kisah pilu. Masih banyak ketimpangan dan juga kekerasan yang dialami oleh perempuan. “Ketimpangan masih terjadi di sini, padahal dalam tujuan Millenium Development Goals (MDG’s), ada slogan no one left behind,” kata Direktur Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (Kapal), Misiyah, dalam diskusi mengenai Hari Perempuan Internasional di Cikini, 6 Maret 2016.
Menurut Misiyah, salah satu ketimpangan yang nyata adalah soal ekonomi. “77 Persen kue pembangunan di Indonesia dinikmati oleh 10 persen orang terkaya di Indonesia. Sedangkan 23 persen sisanya diperebutkan oleh lebih dari 200 juta penduduk,” ujarnya menambahkan. Dari ketimpangan tersebut, Misiyah menambahkan, perempuan menjadi korban karena masih adanya kesenjangan penghasilan. “Dengan beban kerja yang sama, tak jarang penghasilan perempuan lebih kecil,” katanya.
Ucapan Misiyah soal kesenjangan penghasilan diaminkan Ketua Bidang Perempuan dan Kelompok Marjinal dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Y.Hesthi Murthi. Hesthi juga menyoroti soal pengupahan yang masih tak setara bagi jurnalis perempuan. “Masih ada perusahaan pers yang memberikan upah yang berbeda bagi jurnalis perempuan. Kalau pun upah setara, status perempuan bekerja sering kali dianggap sebagai single, sehingga perusahaan tak merasa wajib menanggung jaminan kesehatan dan tunjangan lain untuk anak, juga suami mereka,” katanya saat dihubungi VIVA.co.id, Rabu, 9 Maret 2016.
Menurut Hesthi, situasi itu terjadi karena masih banyak perusahaan yang menggunakan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 untuk menghadapi permasalaham pekerja perempuan. Harusnya perusahaan menggunakan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang tidak mengenal diskriminasi gender dalam hal pemenuhan hak-hak normatif . “Kalau UU itu yang digunakan, maka tak ada lagi diskriminasi soal upah dan fasilitas penunjang lainnya,” ujarnya.