Cedera Akibat FOMO Olahraga Meningkat, Atlet Butuh Fisioterapi Lebih dari Sekadar Pemulihan
- istimewa
VIVA – Dalam dunia olahraga prestasi, cedera bukan lagi sekadar risiko — melainkan kenyataan yang bisa menghambat performa bahkan mengakhiri karier atlet.
Ditambah fenomena FOMO (Fear of Missing Out) dalam tren olahraga masyarakat, semakin banyak orang — termasuk atlet amatir dan profesional — yang mengalami cedera karena latihan tanpa persiapan fisik yang tepat.
Merespons kebutuhan yang kian mendesak akan layanan fisioterapi yang profesional dan terjangkau, WM Center, salah satu klinik fisioterapi terpercaya di Indonesia, resmi membuka cabang kelimanya di Kota Wisata, Cibubur, Minggu 22 Juni 2025
“Banyak atlet datang ke kami dalam kondisi cedera karena mengabaikan aspek penting seperti pemanasan, teknik gerakan yang tepat, atau pemulihan setelah latihan.
Tak sedikit pula yang terdorong oleh FOMO — ingin cepat ikut tren, tapi tidak siap fisiknya,” ujar Windy Mayang, pendiri dan pemilik WM Center.
FOMO dan Cedera: Kombinasi Berisiko
Fenomena FOMO di kalangan masyarakat urban membuat olahraga seperti padel, lari, dan gym menjadi tren. Sayangnya, banyak pelaku olahraga ini belum memahami risiko cedera karena teknik yang salah atau kondisi tubuh yang belum siap.
“Ambil contoh padel. Banyak yang bermain dengan teknik mirip bulutangkis, padahal sangat berbeda. Akhirnya banyak cedera di pergelangan tangan (wrist) dan siku (elbow),” jelas Windy.
Ia menambahkan, banyak pula orang yang mendadak aktif berolahraga setelah seharian duduk di depan layar selama 8 jam. Tanpa stretching atau adaptasi, hal ini dapat memicu cedera otot atau gangguan postur.
Fisioterapi Bukan Sekadar Rehabilitasi
Bagi atlet, fisioterapi tak hanya diperlukan saat cedera. Justru, pendekatan fisioterapi modern juga mencakup aspek preventif (pencegahan cedera) dan performance enhancement (peningkatan performa fisik).
“Fisioterapi itu ada empat pilar: promosi, preventif, rehabilitatif, dan kuratif. Sayangnya, orang baru datang saat cedera. Padahal, kami bisa bantu sejak awal: mengecek postur, biomekanik, hingga menentukan posisi terbaik dalam tim berdasarkan kekuatan otot dan karakter tubuh,” ungkap Windy.
Sebagai contoh, atlet dengan hamstring kuat bisa diarahkan menjadi bek, sementara yang punya akselerasi cepat cocok sebagai winger atau striker.