Rumput Keluarga Kami Berwarna Pelangi
- U-Report
"Siska berangkat sendiri saja. Malu diledek anak manja sama teman-teman," ujar Siska sembari beranjak dari duduknya. "Jangan bertingkah!" hardikku. Siska tak menggubrisku. Ia meraih tas, lantas mencium tangan mama. "Siska!" panggilku. Ia mengacuhkanku. Ingin aku kejar, tapi percuma, wataknya sangat keras, semua keinginannya harus tercapai. "Biarkan saja," suruh mama.
Aku mendengus kesal melihat tingkah Siska. Tak hanya sekali ini ia menolak aku antar, tapi mama selalu membiarkannya. Aku tak habis pikir, hanya gara-gara diledek teman-teman ia malu berangkat bersamaku. "Siska ngambek karena papa menolak membelikannya motor kan, Ma?" tanyaku. Mama memandangku resah. Sikap diamnya semakin membuatku yakin jika dugaanku benar.
"Belikan saja kenapa, Ma! Dengan begitu Dani tak perlu takut terlambat sampai kampus," pintaku. "Papa khawatir, Dan. Usia Siska belum tujuh belas tahun," kilah mama. "Banyak teman Siska yang belum punya SIM, tapi mereka bawa motor sendiri ke sekolah." ujarku. "Mereka bukan anak mama dan papa!" kata mama mengingatkan. "Jadi, kalau anak mama tidak boleh bawa motor sendiri ke sekolah?" tanyaku. "Bukan begitu, Dan," sanggah mama. "Ini masalah tanggung jawab. Orang tua yang memanjakan anak tanpa peduli dengan risiko itu urusan mereka. Mama dan papa mendidik kalian untuk menaati peraturan. Kedisiplinan itu dimulai dari keluarga. Apa mama salah?"
Aku menggeleng lemah. Dalam hati aku membenarkan ucapan mama. Jika setiap orangtua berpandangan sepertinya, tentu tak akan ada kecemburuan dalam hati Siska. "Soal papa, apa benar mama sering bertengkar dengannya?" tanyaku mengalihkan topik. "Dalam rumah tangga, hal seperti itu lumrah. Yang penting adalah bagaimana masing-masing menyikapinya. Jika saling ingin menang sendiri, rumah tangga tak bisa utuh." Aku mengangguk paham. "Mama pernah membicarakan tentang papa yang hanya punya sedikit waktu untuk keluarga," lanjut mama. "Tapi pada akhirnya mama sadar bahwa tidak semua yang kita inginkan harus tercapai. Papa juga sudah berusaha untuk meluangkan waktunya. Berilah kepercayaan kepada papa."
Pak Ubay membuka pintu belakang Xenia hitamnya. Dua alat pancing dan sebuah kardus ia masukan ke bagasi. Istri dan dua anaknya bercanda riang sambil berkemas-kemas. Setelah itu mereka masuk ke mobil. Mesin mobil menyala, lantas berjalan pelan keluar dari halaman rumah. "Kasihan!" ledek Siska, mengagetkanku. Ia memiringkan kepalanya sambil menatap wajahku. "Siapa yang kasihan?" tanyaku kesal. "Kak Dani!" ujarnya. "Kasihan kenapa?" tanyaku bingung. "Hanya bisa memandang, tak bisa merasakan," jawab Siska. "Maksudnya apa?" tanyaku mulai kesal. "Kak Dani iri kan sama keluarga Pak Ubay?" tanyanya sok tahu."Kamu itu tanya apa curhat?" aku balik bertanya. "Curhat sekaligus tanya!"