Pentingkah Pendidikan Seksual bagi Anak Berkebutuhan Khusus?
- vstory
VIVA – Mengawali tiga bulan pertama di tahun 2021, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melayangkan catatan merah mengenai tingginya eskalasi kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Korban kini bukan hanya dari kalangan dewasa saja, tetapi anak-anak turut menjadi korban kekerasan seksual.
Anak-anak di bawah umur menjadi kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan seksual lantaran mereka selalu diposisikan sebagai sosok lemah yang memiliki ketergantungan terhadap orang dewasa di sekitarnya.Â
Minimnya pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual terhadap anak berimbas kepada kepekaan masyarakat mengenai persoalan ini. Bahkan, kekerasan seksual kerap dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Hal ini, pada akhirnya, turut menenggelamkan kasus kekerasan seksual terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK).Â
Dilansir dari Kumparan, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Evi Martha mengungkapkan, fenomena pelecehan seksual terhadap anak dan remaja disabilitas memiliki peluang dua kali lipat lebih banyak dibanding kalangan non-disabilitas. Hal ini didorong oleh beberapa faktor, salah satunya adalah minimnya pendidikan seksual bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).Â
Pendidikan seksual bagi anak-anak masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakat Indonesia. Padahal, pendidikan seksual sejak dini dapat menjadi gerakan fundamental yang dapat mengurangi kasus kekerasan seksual pada anak.
Sama seperti anak-anak pada umumnya, ABK juga memiliki hormon dan hasrat seksual. Namun, mereka tidak mengerti apa yang harus dilakukan ketika hasrat seksual itu datang. Lebih lagi, ABK tidak memahami otoritas tubuh mereka sendiri. Hal ini dapat memicu terjadinya kekerasan seksual terhadap ABK, akibat ketidakberdayaan mereka untuk memahami apa yang terjadi.Â
Potret Pendidikan Seksual Kepada ABK
Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki kurikulum formal untuk memberikan pendidikan seksual kepada anak. Sebagian besar pendidikan seksual di sekolah masih berfokus kepada aspek-aspek kesehatan reproduksi, alih-alih belajar tentang batasan dan apa yang pantas dan tidak pantas untuk disentuhÂ
Hampir tidak ada materi yang fokus pada seksualitas, persetujuan hubungan, isu peka gender, hingga sentuhan dengan orang lain yang umumnya disebut consent. Hal ini menjadi tantangan bagi sekolah di Indonesia dalam memberikan pendidikan seksual yang komprehensif dan utuh kepada anak-anak.