Saksi Meringankan Hasto, Eks Hakim MK: Pengahapuan Konten di Ponsel Bukan Perintangan Penyidikan
- VIVA.co.id/Zendy Pradana
Jakarta, VIVA – Mantan hakim Mahkamah Konstitusi atau MK, Maruarar Siahaan, menjelaskan bahwa menghapus konten pada ponsel bukanlah tindakan perintangan penyidikan. Meskipun terdapat data yang berkaitan dengan suatu perkara.
Maruarar menyampaikan itu ketika menjadi saksi ahli yang meringankan pada sidang kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan PAW anggota DPR RI, dengan terdakwa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Sidang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 19 Juni 2025.
Jaksa Penuntut Umum (JPU), Wawan Yunarwanto mulanya menanyakan terkait penghapusan konten pada ponsel dengan maksud menghilangkan fakta-fakta suatu perkara masuk dalam konteks perintangan.
Kemudian, Maruarar pun menyatakan tindakan tersebut merupakan hak asasi yang mesti dilindungi.
"Misalnya dia menghapus konten itu adalah dalam kaitan untuk menghilangkan fakta-fakta sehingga tidak diketemuan fakta-fakta apa yang itu kemudian membuat terang suatu perkara. Nah apakah itu kemudian juga masih dari ranah hak asasi tetap dilindungi meski kaitan dengan kejahatan?" tanya jaksa Wawan di ruang sidang.
"Ya, kita bertahan bahwa itu adalah hak asasi yang bersangkutan yang harus dilindungi," jawab Maruarar.
Maruarar menjelaskan lebih lanjut soal tindakan menghapus konten, itupun bisa diatasi oleh penyidik. Dicontohkan di kepolisian, mereka memiliki keahlian dan dukungan teknologi canggih yang dapat dengan mudah mendapatkan data yang terkait suatu perkara dengan cara lainnya.
"Kalau saya mengatakan bahwa polisi juga sering mengatakan itu, dia bisa mengatasi kalau benar di situ ada data data yang menyatakan itu merupakan upaya penghalangan, apa yang dikatakan semua penyidik sudah dilengkapi instrumen yang ada untuk mencari data itu dengan alat yang lain," jelas Maruarar.
"Saya bangga sekali kalau dikatakan polisi sudah menggunakan scientific Investigation tapi di dalam data itu dengan mudah kita peroleh dari provider," sambungnya.
Sehingga, penghapusan konten itupun dianggap bukan tindakan atau upaya pencegahan atau perintangan penyidikan. Sebab, proses pencarian konten yang dijadikan akan dijadikan alat bukti itu tetap bisa berjalan dengan cara lainnya.
"Kalau itu yang didalilkan sebagai pencegahan tetap penyidikan itu tidak terhalang. Seandainya dia menggunakan apa yang dikatakan instrumen yang ada seluruhnya bahkan kalau sekarang para apa namanya itu, hacker, dengan mudah memperoleh isi kita punya HP. Tidak terhalang penyidikan kalau pun saya sudah merusak HP saya di situ ada data, anda masih bisa dengan instrumen yang tersedia apa lagi sekarang moderenisasi semua intstrumen bagi penyidik," lanjut Maruarar menjelaskan.
Dalam perkara dugaan suap, Hasto didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp 600 juta kepada Wahyu pada rentang waktu 2019-2020.
Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) Calon Legislatif Terpilih Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama Anggota DPR periode 2019-2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Selain itu, Hasto turut didakwa menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan.
Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.