Kiamat Bisa Terjadi dari Apa yang Kamu Makan, Kok Bisa?
- U-Report
Jakarta – Sepiring nasi padang yang berisi nasi disiram kuah, daging rendang, sambal hijau, dan sayur-sayuran memang sangat lezat. Namun, di balik kelezatannya itu ada bahaya mengintai.
Bahaya itu bukan cuma persoalan kesehatan. Tetapi lebih dari itu, yakni 'kiamat' iklim. Perlu diketahui, nasi padang, dan makanan lain, pada dasarnya memiliki jejak karbon yang berbahaya bagi lingkungan. Dalam sepotong daging, misalnya, diketahui setiap 3,5 ons daging sapi mampu menghasilkan gas rumah kaca sebanyak 50 kg.
Ilustrasi daging sapi
- Pixabay/melomary22
Besarnya angka ini didapat dari rangkaian panjang rantai produksi daging itu sendiri. Dari mulai tahap penggembalaan hingga konsumsi.
Bagaimana Bisa?
Saat tahap penggembalaan, laporan PBB menyebut tak jarang para peternak membuka lahan baru untuk hidup hewan ternak seperti sapi.Pembukaan lahan ini sering menyasar hutan-hutan tertutup dan lahan hijau lain. Sehingga menimbulkan jejak karbon.
Lalu, saat membesarkan sapi terjadi proses pembuangan emisi berupa gas metan. Gas yang lahir dari proses pencernaan di usus dan perut sapi ini ternyata berkontribusi 30% terhadap peningkatan suhu bumi.
Belum lagi saat proses penjagalan. Distribusi dan konsumsi juga menghasilkan jejak karbon dari konsumsi energi yang terjadi.
Salah satunya, terjadi pada proses penyimpanan di kulkas atau lemari pendingin. Laporan Birmingham Energy Institute (2016) menjelaskan kulkas pada dasarnya menyumbang 10% dari emisi karbon global berkat pelepasan senyawa clorofluorocarbon (CFC).
Ilustrasi daging bebek
- Tablespoon.com
Jika seluruh rangkaian itu ditotal, maka tak heran rantai produksi sepotong daging cukup untuk membuat iklim dunia berubah. Dan perlu diingat, itu hanya diperoleh dari sepotong daging.
Jika diolah menjadi menu masakan seperti rendang yang memiliki campuran santan, cabai, dan rempah, tentu ceritanya akan berbeda. Apalagi dalam sepiring nasi padang dan berbagai makanan lain seperti ketupat sayur, pizza, steak, atau spaghetti.
Tahun lalu, gabungan peneliti dari University of California dalam riset "The environmental Footprint of Global Food Production" (Nature Sustainability, 2022) mengungkap bahwa jejak karbon pada makanan bukan hanya berasal dari sektor peternakan. Tetapi juga pertanian, agrikultur, dan hewan air.
Penyebab masalahnya sama, yakni berkisar pada rantai produksi makanan. Di seluruh sektor itu, setiap rantai produksi mengandung jejak karbon, seperti penyuburan tanaman via zat kimia atau pembakaran lahan.