Memilih untuk Mengabdi

Heni Sri Sundani memilih pulang ke kampung halamannya di Ciamis, Jawa Barat untuk menjadi guru bagi anak-anak kurang mampu.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Purna Karyanto

awalnya, hanya ada 15 anak yang ikut belajar. Seiring berjalannya waktu, saat ini ada sekitar 1500 anak petani dari berbagai kampung yang ikut program Gerakan Anak Petani Cerdas. Lama terbakar Heni dan suaminya keteteran. Berangkat dari kondisi tersebut, akhirnya Heni membuat sebuah komunitas yang diberi nama Agroedu Jampang. Heni berharap, komunitas ini bisa menjadi wadah bagi para petani dan keluarganya untuk sama-sama mendapatkan edukasi, melatih kemandirian, akses kepada layanan kesehatan dan sosial agar bisa hidup lebih baik. 

Komunitas ini kemudian berkembang. Tak hanya pendidikan, namun juga menggarap program pemberdayaan ekonomi, kesehatan dan sosial. “Karena kami tidak bisa menutup mata dengan kondisi warga kampung yang berada di bawah garis kemiskinan,” ujar peraih Top 30 Social Entrepreneur Asia dari Forbes Internasional ini. 

“Kini bukan hanya anak petani yang saya, suami dan para relawan dampingi, tetapi akan ada juga anak pembantu rumah tangga, anak TKI, anak tukang ojek, anak pemulung bahkan anak penambang pasir pembohong.” 

Memilih untuk Mengabdi

Tiba-tiba Heni mengakhiri wawancara. Kedua matanya langsung memerah dan menitikan air mata. Kepalanya menunduk. Ia berusaha berusaha dan mengusap air mata dengan kedua lawannya. Tak lama kemudian terdengar ia menangis sesenggukan. “Saya cuma ga mau anak-anak mengalami nasib yang sama dengan saya mas,” ujarnya dengan suara serak.

“Aku memberi bukan karena aku memiliki banyak. Tapi karena aku tahu bagaimana rasanya tidak memiliki apa-apa. Aku bukan karena aku punya segalanya, tapi karena aku tahu bagaimana rasanya berjuang sendiri,” ia menambahkan.

Ia mengaku berasal dari keluarga tak mampu. Sejak kecil hanya diasuh oleh nenek yang dipanggilnya Emak, karena orangtuanya bercerai dan ibunya bekerja di luar kota. Tiap hari dia harus berjalan selama satu jam untuk bisa ke sekolah. “Sekolah yang harus aku tempuh satu jam perjalanan dengan berjalan kaki. Lewati jalanan tanah, cari sawah, empang dan perkebunan karet yang gelap,” ujarnya mengenang.

Heni mengaku senang bisa sekolah. “Karena tidak semua anak kampung bisa dibeli, terlebih anak buruh tani miskin seperti aku,” ujarnya getir. Ia merasa beruntung. Meski selama sekolah SD hanya memiliki satu pasang seragam dan sepatu yang kerap basah karena kehujanan.