Pollycarpus Bebas, Kado Pahit Kasus Munir
- ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
VIVA - Sekitar empat belas tahun yang lalu, tepatnya pada 7 September 2004, kabar duka atau lebih tepatnya tragedi melanda dunia pergerakan aktivis di Indonesia, khususnya pada bidang pembelaan hak-hak asasi manusia.
Ketika itu, pejuang HAM, Munir Said Thalib, tewas di dalam pesawat Garuda dengan nomor GA-974 yang tengah terbang dari Jakarta menuju ke Amsterdam, Belanda.
Munir sebenarnya bermaksud untuk melanjutkan studi pasca sarjana di negeri kincir angin. Karena itu, pada 6 September 2004, Munir diantar oleh rombongan keluarganya ke Bandara Soekarno-Hatta. Namun, kegembiraan akan bayangan mendapatkan ilmu di negeri orang itu dengan cepatnya berubah menjadi kesedihan yang mendalam.
Setelah take off, seorang pramugari menawarkan sajian kepada Munir. Dia memesan mie goreng dan jus jeruk. Tak lama kemudian, pesawat transit di Bandara Changi, Singapura, sekitar tengah malam.
Seorang saksi melihat, wajah pendiri Kontras dan Imparsial itu sangat pucat. Lalu, beberapa waktu kemudian, pesawat kembali mengudara. Munir mulai muntah dan berkali-kali keluar masuk toilet.
Seorang pramugari melaporkan pada kapten pesawat bahwa ada penumpang yang sedang kesakitan. Lalu, kapten menanyakan apakah ada penumpang yang bisa bantu. Kemudian, ada seseorang yang mengaku dokter, memeriksa kondisi Munir dan menyuntikkan injeksi untuk menyembuhkannya.
Tiga jam sebelum sampai di Amsterdam, pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 tersebut menghembuskan nafas terakhirnya di dalam pesawat pada usia yang belum genap 39 tahun. Suatu operasi pembunuhan yang begitu rapi dan juga keji.
Berdasarkan hasil penyelidikan Institut Forensik Belanda (NFI), Munir diketahui meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal. Proses hukum pun segera bergulir di Tanah Air. Markas Besar Polri, lalu menetapkan Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot senior Garuda Indonesia, sebagai tersangka pada 18 Maret 2005.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 1 Desember 2005, jaksa menuntut Pollycarpus dengan hukuman penjara seumur hidup, karena dinilai terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir, dengan cara memasukkan racun arsenik ke dalam mie goreng yang disantap Munir saat penerbangan menuju Singapura. Namun, majelis hakim memvonis hukuman penjara selama 14 tahun.