Bitcoin 'Haram' di Indonesia

Bitcoin.
Sumber :
  • REUTERS/Dado Ruvic

VIVA – Para ulama di Turki, Arab Saudi, dan Mesir, sepakat untuk melarang penggunaan Bitcoin sebagai alat transaksi dan perdagangan. 

Alasannya, karena mata uang kripto atau cryptocurrency ini mirip perjudian dan merupakan jembatan bagi pelaku kejahatan seperti pencucian uang atau perdagangan narkoba.

Negara lainnya seperti Bangladesh, Bolivia, dan Maroko, juga mengikuti jejak dengan mengeluarkan larangan formal untuk perdagangan Bitcoin.

Salah satu argumen utama melarang Bitcoin adalah karena tingginya tingkat risiko (maisir) dan ketidakpastian (garar) serta kurangnya penyediaan aset riil dan jaminan negara.

Maisir dan garar dilarang oleh hukum Islam dan mensyaratkan mata uang untuk berwujud atau memiliki bukti eksistensi.

Islam juga melarang penggunaan uang yang terkait dengan utang serta melarang pembebanan dan keuntungan dari bunga yang dibayarkan atas pinjaman.

Namun, Penasihat Keuangan dan Ekonomi Syariah dari Dewan Mufti Rusia, Madina Kalimullina, memiliki pandangan berbeda terhadap Bitcoin.

Ia mengatakan bahwa berdasarkan karakteristik mata uang kripto, 'koin' dapat dikatakan halal apabila memenuhi standar hukum Islam.

“Memang, saat ini belum. Namun, dalam perspektif dua atau tiga tahun lagi, mata uang kripto bisa dikembangkan,” kata Kalimullina, dikutip situs Russia Today, Jumat, 5 Januari 2018.

Kalimullina juga mengatakan, transaksi Bitcoin telah dibuka di beberapa negara Muslim. Negara pertama di Timur Tengah yang membuka adalah Uni Emirat Arab dengan BitOasis.

Di Asia Tenggara, Indonesia dengan Bitcoin dan Malaysia melalui Coinbox juga menawarkan layanan yang terkait dengan cryptocurrency.

Bank Indonesia resmi melarang transaksi pembayaran menggunakan virtual currency mulai dari Ethereum hingga Bitcoin mulai 2018, karena bukan mata uang resmi di Indonesia.

Gubernur Bank Indonesia Agus Dermawan Wintarto Martowardojo menjelaskan kalau dalam waktu dekat beleid tersebut akan dikeluarkan.

Namun, pihaknya sudah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang isinya secara eksplisit melarang penyelenggara teknologi finansial (fintech) dan e-commerce, serta penyelenggara jasa sistem pembayaran menggunakan dan memproses virtual currency.

"Hal ini untuk mencegah pencucian uang, pendanaan terorisme dan menjaga kedaulatan Rupiah sebagai legal tender di NKRI," kata Agus Marto.