Suku Bunga Turun, Harga Bitcoin Melorot: Simak Analisis Mengejutkannya
- freepik.com/freepik
Jakarta, VIVA – Sepekan pascabank sentral AS, The Fed, memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps), harga Bitcoin masih bergerak volatil dan bahkan sempat turun ke level US$111.500 (Rp1,8 miliar) setelah sebelumnya sempat melonjak ke US$117.700 (Rp1,9 miliar).
Pergerakan ini menimbulkan pertanyaan menarik. Sebab, rendahnya suku bunga biasanya mendorong aset berisiko seperti kripto dan saham untuk naik.
Merespons kondisi tersebut, Fahmi Almuttaqin sebagai Analyst Reku mengatakan penurunan harga Bitcoin dan Ethereum saat ini disebabkan oleh pasar aset kripto yang sudah mengantisipasi pemangkasan suku bunga jauh sebelum pengumuman resmi pekan lalu.
“Likuiditas jangka pendek sempat mengalir deras ke aset risk-on, termasuk Bitcoin dan altcoin, sehingga ketika keputusan akhirnya keluar, sebagian investor justru melakukan aksi profit taking,” ungkapnya, melalui keterangan resmi, Jumat, 26 September 2025.
Selain itu, alasan pelemahan ekonomi termasuk pelemahan sektor tenaga kerja AS yang melatarbelakangi penurunan suku bunga tersebut membuat kekhawatiran investor terhadap risiko lonjakan inflasi meningkat.
Terlebih lagi, meskipun The Fed memangkas suku bunga, data neraca keuangan The Fed menunjukkan bank sentral tersebut sebenarnya belum agresif memperluas likuiditas.
Mengacu rilis mingguan H.4.1 Federal Reserve, total aset The Fed per 17 September 2025 tercatat sebesar US$6,6 triliun (Rp110.500 triliun). Jumlah tersebut masih jauh di bawah puncak pandemi Covid-19 (sekitar US$9 triliun/Rp150.678 triliun).
Hal tersebut menandakan proses quantitative tightening (QT) atau pengetatan kebijakan moneter, masih berlangsung meski dengan tempo yang melambat.
Dalam kondisi ini, pasar menyadari bahwa penurunan suku bunga saja belum cukup, yang menentukan adalah ketersediaan likuiditas dolar AS secara riil di pasar global.
Potensi kenaikan Bitcoin
Kondisi ini cukup suportif untuk menunjang proyeksi positif Bitcoin dan pasar aset kripto secara umum di sisa tahun ini.
Di tengah masih relatif solidnya tren akumulasi investor institusi dan potensi berkembangnya adopsi ETF altcoin, Bitcoin dan Ethereum berpeluang kembali mencetak new all time high.
“Namun, skenario downside tetap ada seperti terjadinya shutdown pemerintah AS yang dapat memicu tekanan arus kas jangka pendek serta pemangkasan lapangan pekerjaan dalam skala besar,” tutur Fahmi.
Selain itu, lanjut dia, potensi lonjakan inflasi atau mulai menguatnya dolar AS, juga dapat memicu berkembangnya sentimen negatif dengan risiko koreksi Bitcoin ke bawah US$100 ribu (Rp1,6 miliar).
Bagi investor di Indonesia, proyeksi penurunan suku bunga The Fed di sisa tahun ini membuka prospek diversifikasi ke aset risk-on. Walau demikian, masih terdapat kecenderungan volatilitas tinggi pada Bitcoin.
Oleh karena itu, strategi Dollar Cost Averaging (DCA) bisa lebih strategis dibanding investasi atau trading sekaligus dalam jumlah besar.
Perlu diingat bahwa pasar aset kripto kini tidak bisa dipisahkan dari dinamika makro global, sehingga investor perlu memantau bukan hanya harga Bitcoin, tapi juga indikator likuiditas dolar AS dan arus dana institusional.
Dalam melakukan DCA, investor dapat mengoptimalkan fitur yang memudahkan berinvestasi ke aset kripto dan saham AS potensial.
Misalnya, melalui fitur Packs di Reku yang memungkinkan investor bisa berinvestasi pada berbagai crypto blue chip dan ETF Saham AS dengan performa terbaik dalam sekali swipe untuk memudahkan diversifikasi.
"Fitur Packs dilengkapi dengan sistem Rebalancing akan membantu investor menyesuaikan alokasi investasinya sesuai dengan kondisi pasar secara otomatis. Dengan begitu, strategi DCA yang dilakukan dapat lebih mudah, praktis, dan optimal," jelas Fahmi.