Restorasi Lahan Indonesia, Pentingkah?

Pemuda menanam bibit pohon @ 2020 Piyaset [https://www.shutterstock.com/image-photo/hand-young-people-planting-small-plant-1746515330]
Sumber :
  • vstory

(Artikel ini ditulis oleh Randi Syafutra)

VIVA - Indonesia sedang menghadapi tantangan besar yang jarang menjadi headline sehari-hari, tetapi dampaknya terasa di setiap jengkal tanah: degradasi lahan. Sering kali kita sibuk membicarakan isu politik, kriminal, bahkan gosip artis, sementara kerusakan lahan berlangsung senyap dan perlahan merampas daya hidup bangsa ini. Pertanyaannya sederhana tapi krusial: pentingkah restorasi lahan di Indonesia? Atau kita biarkan saja tanah kita lelah, lalu menanggung konsekuensinya di masa depan?

Jika kita menengok laporan terbaru PBB pada peringatan Desertification and Drought Day 2025 di Bogotá, Kolombia, dunia diingatkan bahwa 1,5 miliar hektare lahan perlu direstorasi sebelum 2030 untuk mencegah krisis pangan, air, dan ekonomi yang semakin dalam. Angka itu bukan sekadar statistik global, melainkan peringatan keras yang relevan untuk Indonesia. Negara ini masih menyimpan cadangan lahan luas, tetapi setiap tahun kita kehilangan ribuan hektare karena deforestasi, pertambangan, perkebunan yang tidak terkendali, dan kebakaran hutan. Jika dunia kehilangan 880 miliar dolar per tahun akibat degradasi lahan, bayangkan berapa besar kerugian Indonesia yang hidupnya bertumpu pada tanah, hutan, dan pertanian.

Kasus terbaru di Tanah Air memperlihatkan potret buram yang seharusnya membuat kita semua terjaga. Di Kalimantan Tengah, ribuan hektare lahan gambut yang dulu menjadi paru-paru dunia kini berubah menjadi hamparan tanah tandus dan bekas parit kanal yang kering. Upaya membangun food estate yang digadang-gadang sebagai solusi krisis pangan malah menyisakan tanah kritis yang sulit dipulihkan. Di Sumatera Selatan, kebakaran hutan yang terjadi beberapa bulan lalu membuat ribuan warga terpapar asap pekat. Lahan gambut yang seharusnya menjadi penyimpan air dan karbon kini rapuh, mudah terbakar, dan nyaris kehilangan fungsi ekologisnya. Sementara di Pulau Bangka, lahan-lahan bekas tambang timah menjelma menjadi kawah raksasa berair asam, mengubah lanskap menjadi mirip gurun kecil di tengah pulau tropis.

Fenomena-fenomena ini menegaskan bahwa degradasi lahan bukan hanya terjadi di Afrika atau Timur Tengah. Indonesia pun sedang berjalan di jalur yang sama. Padahal, negeri ini pernah dikenal sebagai lumbung kekayaan hayati yang melimpah. Jika lahan terus rusak tanpa upaya serius restorasi, kita akan menghadapi masalah berlapis: produksi pangan anjlok, bencana ekologis meningkat, dan biaya sosial-ekonomi melonjak tak terkendali.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.