Menghidupkan Suara yang Tak Pernah Padam: Monolog 'Aku yang Tak Kehilangan Suara'
- istimewa
Jakarta, VIVA- Galeri Indonesia Kaya malam itu menjadi saksi bisu dari sebuah pertunjukan yang bukan sekadar teater, tetapi juga sebuah penghormatan. Pertunjukan monolog bertajuk "Aku yang Tak Kehilangan Suara” menyuarakan keteguhan hati dan perjuangan seorang perempuan yang selama ini hanya dikenal sebagai “istri dari”—Siti Walidah, pendamping hidup KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Diselenggarakan oleh Regina Art dan Djarum Foundation, monolog ini diperankan oleh Tika Bravani, yang membawakan peran Siti Walidah dengan penghayatan mendalam dan narasi yang menyentuh. Dalam panggung yang minim properti, justru hadir ruang luas bagi emosi dan suara Siti Walidah untuk menggema, mengisi relung batin penonton yang larut dalam kisahnya.
Monolog ini mengajak penonton menyelami sisi sejarah yang kerap terlewat: bagaimana perempuan dalam bayang-bayang sejarah juga menjadi penentu arah zaman. Siti Walidah bukan sekadar istri pendiri organisasi besar, tetapi juga seorang pendidik, pemikir, dan penggerak perempuan melalui organisasi Aisyiyah yang ia dirikan—organisasi yang hingga kini tetap aktif dalam pemberdayaan perempuan.
Pertunjukan ini menjadi pengingat bahwa suara perempuan, betapa pun lirihnya, dapat bertahan dan menembus zaman. Isak tertahan beberapa kali terdengar di ruangan, menandakan betapa dalamnya pesan yang disampaikan malam itu.
Tantangan dan Transformasi Sang Pemeran
Bagi Tika Bravani, memainkan monolog ini adalah sebuah tantangan pribadi. “Monolog adalah salah satu tipe permainan yang saya hindari karena takut mati gaya,” ujar Tika. Namun kali ini, ia menerima tantangan itu. “Rasanya campur aduk—ada rasa percaya diri, tapi juga khawatir. Tapi saya jalani saja prosesnya,” tambahnya.
Tika mengungkap bahwa persiapan dimulai sejak Januari. Hafalan naskah dilakukan sambil treadmill setiap pagi, sebagai cara untuk menjaga pernapasan dan stamina. “Saya pikir saya gak bakal hafal, tapi ternyata bisa juga,” katanya dengan senyum lega.
Lebih dari sekadar menghafal naskah, Tika mengaku tersentuh oleh sosok Siti Walidah. “Perempuan biasanya lebih mengedepankan perasaan daripada logika. Tapi Siti Walidah ini luar biasa—ketika mendapat kabar ingin dimadu, ia bisa bersikap lapang dada, demi dakwah dan pengabdian. Dia tidak larut dalam luka, tapi tetap fokus pada pendidikan dan masyarakat,” ungkapnya.
Mengangkat Nama yang Terlupakan
Sang produser, Joane Win menjelaskan bahwa pertunjukan ini lahir dari keinginan untuk mengenalkan sejarah lebih luas, tak hanya dari sisi KH Ahmad Dahlan, tetapi juga dari pendamping hidupnya. “Kami ingin penonton mengenal Siti Walidah, bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai tokoh yang berdiri di garis depan perjuangan,” kata Joane Win.
Pemilihan Tika Bravani juga bukan tanpa alasan: “Dia punya komitmen tinggi, latihannya selalu ontime, dan dia sudah pernah memerankan peran ini di tahun 2017. Fisik dan mentalnya terlatih.”
“Aku yang Tak Kehilangan Suara” bukan hanya pertunjukan seni—ia adalah ruang refleksi. Ia mengingatkan kita bahwa sejarah bukan hanya milik mereka yang bersuara lantang, tapi juga milik mereka yang bersuara lirih namun konsisten. Siti Walidah adalah suara itu—yang tetap hidup, tetap menyala, dan malam itu terdengar kembali: jelas, tajam, dan tak terlupakan.