Tundra Meliala Soroti Marwah Organisasi Pers

Ketua Umum AMKI Pusat Tundra Meliala
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA — Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat, Tundra Meliala, menyoroti pentingnya evaluasi berkelanjutan terhadap organisasi wartawan dan perusahaan pers yang menjadi konstituen Dewan Pers.

Pengurus AMKI Pusat Dikukuhkan, Perkuat Sinergi Media Lintas Platform

Menurutnya, meski sudah hampir dua dekade sejak diterbitkannya Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 04/SK-DP/III/2006 tentang Standar Organisasi Wartawan, penerapan pengawasan terhadap konstituen Dewan Pers dinilai mulai kehilangan ketegasan.

"Dulu, kita sepakat dengan 13 syarat ketat untuk menjadi konstituen Dewan Pers. Tapi sekarang, banyak organisasi yang justru nyaris tak terdengar, bahkan seolah hanya menjadi formalitas administratif," kata Tundra Meliala dalam keterangannya, Selasa (18/6/2025).

Dianggap Dukung Terorisme, Gedung Media Israel Akan Jadi Target Serangan Iran

Hanya Empat Organisasi yang Masih Memenuhi Syarat

Tundra menjelaskan, dari 27 organisasi wartawan yang disepakati pada 2006, saat ini hanya empat yang masih memenuhi syarat sebagai konstituen Dewan Pers, yaitu:

Pertamina Luncurkan Anugerah Jurnalistik Pertamina 2025
  • Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
  • Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
  • Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
  • Pewarta Foto Indonesia (PFI)

“Sisanya lenyap atau tidak memenuhi standar, baik secara administratif maupun faktual,” tegas Tundra.

Menurutnya, ini menjadi alarm bagi Dewan Pers untuk kembali menegakkan standar. "Sejak awal, siapa pun yang ingin menjadi konstituen tidak hanya wajib memenuhi syarat saat pendaftaran, tetapi juga harus terus menjaga marwah sebagai organisasi pers yang profesional dan kredibel," tambahnya.

Ancaman Kehilangan Relevansi

Tundra juga menyoroti organisasi perusahaan pers yang diakui Dewan Pers, seperti JMSI, SMSI, AMSI, PRSSNI, ATVLI, ATVSI, dan SPS. Ia menilai sebagian asosiasi kini terancam kehilangan relevansi, terutama di tengah perubahan pesat industri media.

Ia memberi contoh, banyak radio siaran swasta yang tutup sejak pandemi Covid-19, tidak mampu bersaing dengan platform digital seperti Spotify atau YouTube. "Organisasi yang dulu aktif membina radio lokal sekarang lebih terdengar suaranya saat tahun politik, bukan dalam pembinaan jangka panjang," ungkapnya.

Hal serupa juga terjadi pada asosiasi media cetak. Menurut data Dewan Pers, dari lebih 1.000 media cetak yang eksis pada awal 2010-an, kini hanya tersisa sekitar 307. Sebagian besar media cetak sudah beralih ke digital atau tutup total.

"Apakah organisasi ini masih berfungsi membina dan mengadvokasi industri pers yang kini sudah bergeser ke platform digital? Atau hanya menjadi tukang stempel administratif?" sindir Tundra.

Uji Ketegasan Dewan Pers

Tundra menegaskan, organisasi konstituen Dewan Pers wajib diverifikasi tidak hanya di awal keanggotaan, tetapi juga secara berkelanjutan. "Apakah Dewan Pers masih memantau jumlah anggota aktif, kepengurusan, dan kegiatan organisasi itu? Sampai hari ini, belum pernah kita dengar ada organisasi yang dicabut status konstituennya," ujarnya.

Ia menilai Dewan Pers terlalu menjaga "harmoni semu" dan cenderung mempertahankan status organisasi demi formalitas. "Kalau ini terus dibiarkan, publik akan mempertanyakan otoritas moral Dewan Pers," kata Tundra.

Di tengah maraknya disinformasi dan propaganda di era digital, menurutnya, pers Indonesia membutuhkan organisasi wartawan yang benar-benar aktif, berdampak, dan menjadi pemandu transformasi digital media.

Dorong Evaluasi Terbuka

Tundra mendesak Dewan Pers membuka ruang evaluasi publik terhadap organisasi konstituen. "Harus ada audit tahunan, mulai dari jumlah anggota aktif, program kerja, hingga kegiatan edukasi yang telah dilakukan. Tanpa itu, Dewan Pers berisiko kehilangan legitimasi sebagai penjaga kemerdekaan pers," tegasnya.

Ia menekankan, evaluasi ini bukan untuk mencari kesalahan, tetapi untuk mengembalikan marwah organisasi wartawan dan perusahaan pers sebagai kekuatan moral dan intelektual.

"Kita tidak butuh banyak organisasi jika yang ada pun hanya papan nama. Yang dibutuhkan hari ini adalah organisasi yang hidup, bekerja nyata, dan menjadi penerang di tengah tantangan digital dan ekonomi media yang makin sulit," pungkasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya