Refleksi atas Wacana Pemakzulan Wakil Presiden: Perspektif Hukum, Politik, dan Etika Demokrasi

Dr. Muhammad Bayu Hermawan, S.H., M.H. Ketua GibranKu DKI Jakarta
Sumber :
  • istimewa

Jakarta, VIVA – Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang belakangan ramai dibicarakan publik mendapat tanggapan tegas dari Ketua GibranKu DKI Jakarta, Dr. Muhammad Bayu Hermawan, S.H., M.H. Dalam pernyataannya, Bayu mengingatkan pentingnya memandang persoalan ini dari perspektif hukum dan konstitusi secara utuh, bukan sekadar narasi politik.

Terkait Surat Pemakzulan Gibran ke DPR, Puan: Kita akan Proses Sebaik-baiknya

“Pasal 7A UUD NRI 1945 secara tegas menyebutkan dasar hukum untuk pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah masa jabatannya,” ujar Bayu. Ia mengutip langsung isi pasal tersebut yang menyatakan bahwa pemakzulan hanya dapat dilakukan jika terbukti melakukan pelanggaran berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden.

Secara teoritis dan yuridis, kata Bayu, siapa pun yang menjabat sebagai Presiden maupun Wakil Presiden – termasuk Gibran – bisa diberhentikan apabila memenuhi unsur pelanggaran yang telah disebutkan. Namun, ia menekankan bahwa hingga kini tidak ada bukti hukum yang kuat ataupun proses hukum yang berjalan terhadap Gibran.

Wapres Gibran Bersilaturahmi ke Kediaman Hendropriyono, Belajar Soal Strategi Bangsa

“Maka, wacana pemakzulan dalam kondisi saat ini lebih bernuansa politis daripada konstitusional,” tegasnya.

Lebih lanjut, Bayu menyebut bahwa sejarah demokrasi global menunjukkan pemakzulan Wakil Presiden adalah fenomena yang sangat langka. Yang lebih sering terjadi, katanya, adalah pengunduran diri, reshuffle politik, atau pergantian karena Presiden yang dimakzulkan lebih dahulu.

Puan Tak Bacakan Surat Usulan Pemakzulan Gibran di Sidang Paripurna

Ia juga mengingatkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia adalah satu paket pilihan rakyat dalam sistem pemilu langsung. “Pemakzulan terhadap Wakil Presiden tanpa dasar hukum yang kuat bukan hanya mencoreng nama pribadi, tetapi juga meruntuhkan legitimasi pasangan yang dipilih rakyat secara sah,” ucap Bayu.

Bayu juga mempertanyakan motivasi di balik wacana pemakzulan tersebut. “Apakah dorongan terhadap wacana ini murni demi kepentingan konstitusional dan bangsa? Atau ada ambisi kelompok tertentu yang tidak mampu menerima perubahan arah politik, terutama ketika anak muda mulai diberi ruang untuk tampil?” tuturnya.

Ia menyatakan hormat kepada para purnawirawan TNI sebagai penjaga kedaulatan bangsa. Namun ia menilai bahwa keterlibatan mereka dalam wacana politik yang cenderung destruktif bisa menodai citra TNI sebagai institusi yang seharusnya netral dan profesional.

“Apakah salah jika anak muda diberi ruang? Bukankah ini justru menjadi momentum bahwa demokrasi Indonesia semakin matang dan inklusif?” kata Bayu menegaskan.

Menurutnya, jika memang ada dugaan pelanggaran konstitusional, sebaiknya dibuktikan lewat jalur hukum. Namun jika ini hanya permainan politik semata, publik harus berani bersuara. “Dalam demokrasi, semua boleh berbeda pandangan. Tapi mari tetap menjunjung tinggi etika, konstitusi, dan akal sehat,” pungkasnya.

Bayu mengakhiri pernyataannya dengan penegasan: “Kebenaran akan menemukan jalannya. Sejarah akan mencatat siapa yang menjaga bangsa, dan siapa yang hanya bermain catur demi kepentingan sendiri.”

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya