China Mengawasi Semua Orang, di Mana Saja!
- AP Photo
VIVA – China telah mengembangkan sistem pengawasannya dari yang awalnya hanya untuk keamanan dalam negeri, menjadi jaringan kontrol global yang memantau, melacak, dan menekan warga negaranya di mana pun mereka berada.
Ekspansi pengaruh otoriter ini juga menjadi tantangan besar terhadap kedaulatan negara lain dan prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional.
Skala infrastruktur pengawasan di dalam negeri China belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Dengan lebih dari 500 juta kamera pengawas—lebih dari setengah dari jumlah kamera di seluruh dunia—pemerintah China membangun sistem yang mengklaim memiliki "cakupan penuh, berbagi jaringan penuh, tersedia sepanjang waktu, dan kontrol total."
Proyek “Sharp Eyes” yang diluncurkan pada 2016 memperluas jangkauan ini melalui sistem manajemen berbasis grid, yang membagi komunitas menjadi zona-zona kecil yang diawasi ketat, dengan petugas yang ditugaskan untuk memantau aktivitas harian, interaksi sosial, hingga perilaku digital warga.
Dikutip dari Irrawaddy, Jumat 11 Juli 2025, tingkat pengawasan paling ekstrem terlihat di lokasi-lokasi yang dianggap sensitif secara politik. Lapangan Tiananmen—tempat terjadinya protes pro-demokrasi pada 1989 yang berakhir dengan kekerasan militer—kini menjadi simbol penggabungan antara ingatan sejarah dan kontrol teknologi.
Ilustrasi populasi warga China.
- The Irish Time
Wisatawan asing harus mendaftar 24 jam sebelumnya jika ingin berkunjung, sementara alat pengawasan canggih di area tersebut bahkan dapat memantau tekanan darah dan kondisi emosional pengunjung untuk mendeteksi potensi ancaman keamanan.
Lapangan ini, yang dulunya merupakan simbol kebebasan berekspresi, kini berubah menjadi ruang dengan pengawasan absolut—gambaran nyata strategi China dalam membungkam perbedaan pendapat melalui pengawasan menyeluruh.
Tak hanya di dalam negeri, sistem ini juga digunakan untuk operasi lintas negara. Menurut laporan Freedom House, dari 854 insiden represi fisik lintas negara yang tercatat antara 2014 hingga 2022, sebanyak 253 melibatkan China—menjadikannya negara dengan praktik represi transnasional paling aktif di dunia.
Targetnya meliputi aktivis pro-demokrasi, etnis minoritas seperti Uyghur dan Tibet, pembangkang Hong Kong, praktisi Falun Gong, dan siapa pun yang dianggap mengancam kekuasaan Partai Komunis di 36 negara.
Teknologi dan Intimidasi Menyeberangi Batas Negara
Metode pengawasan luar negeri China menggabungkan teknologi canggih dengan taktik intimidasi tradisional. Pengawasan digital menjadi kunci utama, di mana otoritas China menggunakan perangkat mata-mata (spyware) mutakhir untuk meretas perangkat dan jaringan komunikasi secara global.
Aplikasi WeChat, yang populer di kalangan diaspora China, berfungsi ganda: sebagai alat komunikasi sekaligus alat pemantauan negara atas percakapan dan transaksi keuangan pengguna di luar negeri.
Pengawasan fisik turut melengkapi operasi digital ini. Antara 2016 dan 2022, kantor keamanan publik China dilaporkan mendirikan 102 pos layanan polisi luar negeri di 53 negara. Secara resmi, pos ini diklaim menyediakan layanan administratif seperti perpanjangan dokumen. Namun, investigasi menemukan bahwa beberapa pos terlibat dalam aktivitas pemaksaan.
Di Belanda dan Amerika Serikat, misalnya, petugas pos tersebut dilaporkan menekan pembangkang agar kembali ke China untuk diadili, yang membuat sejumlah pemerintah memerintahkan penutupan pos tersebut.
Taktik lain yang ampuh adalah melalui tekanan terhadap keluarga yang masih tinggal di China. Amnesty International melaporkan bahwa hampir sepertiga mahasiswa China di luar negeri pernah mengalami tekanan atau pelecehan terhadap keluarga mereka agar menghentikan aktivitas atau pandangan politik mereka di luar negeri.
Taktik ini memanfaatkan ikatan emosional dan nilai budaya China tentang bakti pada orang tua, yang menciptakan efek ketakutan bukan hanya bagi target utama, tapi juga untuk seluruh komunitas diaspora.
Kecanggihan Teknologi dan Ekspansi Global
China terus menyempurnakan kemampuan teknologinya dalam pengawasan lintas negara. Kecerdasan buatan kini digunakan untuk menganalisis aktivitas media sosial guna mendeteksi potensi pembangkang, sementara peretas (hacker) dengan kemampuan tinggi menargetkan perangkat para aktivis di seluruh dunia.
Model AI baru seperti DeepSeek dan kemajuan dalam komputasi kuantum mengisyaratkan bahwa sistem enkripsi saat ini bisa segera usang, membuat para pengkritik Beijing semakin rentan.
Ekspor teknologi pengawasan China ke rezim otoriter lain menambah dampaknya. Korea Utara sangat bergantung pada teknologi buatan China untuk mengontrol penduduknya, sementara banyak negara lain mengadopsi model “otoritarianisme digital” ala China.
Proliferasi ini bukan hanya memperluas kemampuan pengawasan China secara tidak langsung, tetapi juga menormalkan pengawasan ketat sebagai alat pemerintahan global.
Dunia Demokratis Gagal Mengimbangi
Respons negara-negara demokratis terhadap ancaman ini masih terpecah dan seringkali tidak memadai. Meski Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia telah mulai mengakui represi lintas negara sebagai ancaman keamanan nasional, mekanisme penegakan hukum masih kalah canggih dibandingkan operasi China.
Para korban kerap mengeluhkan bahwa aparat setempat tidak memiliki sumber daya, keahlian, atau kemauan politik untuk memberikan perlindungan berarti.
Pandemi COVID-19 mempercepat normalisasi pengawasan di China. Sistem pelacakan kesehatan digunakan sebagai dalih memperluas pemantauan oleh negara. Pemerintah berhasil meyakinkan publik bahwa pengawasan adalah bagian dari upaya keselamatan, meski teknologi yang sama digunakan untuk melacak pembangkang politik.
Perpaduan antara alasan kesehatan publik dan kontrol politik ini menunjukkan bahwa infrastruktur pengawasan yang telah dibangun hampir selalu berkembang melampaui tujuan awalnya.
Tantangan Kedaulatan dan Hak Asasi
Faktor ekonomi turut memperkuat tren ini. Seiring perlambatan pertumbuhan ekonomi, pemerintah China semakin menekankan pentingnya “keamanan” dan “ketertiban” sebagai dasar legitimasi kekuasaan. Warga dalam negeri menerima narasi ini dengan imbalan rasa aman, meskipun harus mengorbankan privasi.
Namun bagi komunitas diaspora, pilihan ini dipaksakan—mengubah negara demokratis tempat mereka tinggal menjadi perpanjangan dari negara pengawas China.
Konsekuensi dari pengawasan lintas negara ini melampaui penderitaan individu, karena juga mengancam prinsip kedaulatan dan perlindungan HAM. Ketika pengawasan China bisa beroperasi bebas melintasi batas negara, perlindungan yang biasanya diberikan oleh negara demokrasi terhadap pengungsi dan pembangkang menjadi tidak efektif.
Sekitar 900.000 mahasiswa China di luar negeri dan jutaan diaspora lainnya kini hidup dalam kenyataan bahwa jarak geografis tidak lagi menjamin kebebasan dari pengawasan negara.
Model otoritarianisme digital China merupakan bentuk baru pemerintahan yang menggunakan teknologi untuk mempertahankan kekuasaan tanpa batas negara. Tanpa aksi bersama komunitas internasional untuk melindungi diaspora, membatasi ekspor teknologi pengawasan, dan meminta pertanggungjawaban Beijing atas pelanggaran kedaulatan, model ini akan terus berkembang.