Malaysia Sahkan UU Atur Kesejahteraan Ojol hingga Kurir, Indonesia Kapan?
- pymnts
Kuala Lumpur, VIVA – Parlemen Malaysia telah mengesahkan RUU Pekerja Gig 2025 yang bersejarah. UU tersebut diklaim akan menguntungkan sekitar 1,2 juta individu yang terlibat dalam ekonomi gig Malaysia.
Pekerja Gig merujuk pada pekerja tidak tetap berdasarkan proyek atau dengan jangka waktu tertentu. Umumnya, kontrak pekerja gig bersifat jangka pendek, temporer, atau satu kali proyek putus. Seperti halnya pekerja lepas/harian, kurir, ojek/taksi online, konten kreator, musisi, pekerja seni, ilustrator, programer, gamer dan lain sebagainya.
RUU Pekerja Gig, yang berisi 112 klausul dalam 10 bagian, disahkan setelah dibahas oleh 23 anggota parlemen dan disetujui oleh suara terbanyak di Dewan Rakyat.
Undang-undang baru ini secara resmi mengakui pekerja gig sebagai kategori tersendiri dari angkatan kerja, bukan karyawan dengan kontrak layanan tradisional maupun kontraktor independen, sekaligus memperkenalkan perlindungan hukum melalui perjanjian layanan tertulis dengan entitas yang terikat kontrak.
Menteri Sumber Daya Manusia, Steven Sim Chee Keong mengatakan bahwa undang-undang tersebut sebagai mekanisme yang telah lama dinantikan untuk mengatasi kesenjangan dalam perlindungan ketenagakerjaan bagi pekerja gig di Malaysia.
Dewan Rakyat Malaysia atau Parlemen Malaysia
- The Sun
"Sudah terlalu lama, 1,2 juta warga Malaysia di sektor gig bekerja setiap hari tanpa perlindungan ketenagakerjaan yang memadai, seolah-olah kontribusi mereka terhadap perekonomian tidak pantas diakui. RUU ini mengakhiri ketidakadilan tersebut," ujar Sim kepada DPR dilansir theedgemalaysia, Senin, 1 September 2025.
Undang-undang baru ini akan mewajibkan semua entitas yang terikat kontrak — termasuk platform digital seperti Grab dan FoodPanda — menandatangani perjanjian layanan tertulis dengan pekerja gig.Â
Perjanjian ini harus menetapkan standar minimum terkait ketentuan pembayaran, pengaturan kerja, pertanggungan asuransi, dan prosedur pemutusan hubungan kerja.
RUU ini juga melarang praktik-praktik tidak adil seperti perubahan tarif sepihak, penonaktifan pekerja secara sewenang-wenang, dan pembatasan bekerja di berbagai platform.
Dalam RUU ini, Pengadilan Pekerja Gig akan dibentuk untuk mengadili perselisihan bagi orang-orang di industri ini, dengan wewenang untuk memerintahkan kompensasi, pemulihan, atau pembayaran upah yang belum dibayar.
Pekerja kini berhak untuk didengar pendapatnya sebelum penangguhan, dan jika terbukti tidak bersalah, akan diberikan kompensasi sebesar 50% dari gaji harian rata-rata mereka. Sebelumnya, pekerja gig tidak memiliki jalur hukum terhadap tindakan semacam itu.
Untuk perlindungan sosial, pekerja gig akan dilindungi oleh Undang-Undang Jaminan Sosial Wiraswasta 2017 (Undang-Undang 789), dengan iuran yang disalurkan melalui Organisasi Jaminan Sosial atau Socso.Â
Potongan sebesar 1,25% per perjalanan atau pengiriman akan dialokasikan untuk dana ini, yang memberikan manfaat bagi pekerja gig mulai dari perlindungan kecelakaan hingga perlindungan disabilitas.Â
Undang-undang tersebut membentuk badan pencatat pekerja gig di bawah Kementerian Sumber Daya Manusia untuk mengawasi pendaftaran platform dan pekerja. Pekerja gig juga akan memiliki hak untuk membentuk asosiasi, yang dapat mewakili mereka dalam penyelesaian sengketa, proses pengadilan, dan negosiasi kolektif.
Bagaimana di Indonesia?
Aksi Demo Ojek Online
- VIVA.co.id/M Ali Wafa
Sebaliknya, penyelenggaraan bisnis transportasi online di Indonesia masih dihadapkan beragam persoalan dan dinamika protes berulang kali dari para mitra pengemudi ojek online (ojol) maupun taksi online terkait kesejahteraan mereka.Â
Para pengemudi mendesak pengakuan hukum -- seperti Undang-Undang yang spesifik dan mengikat mengatur transportasi berbasis aplikasi. Tanpa regulasi khusus, perusahaan aplikasi kerap bertindak sewenang-wenang karena lemahnya dasar hukum yang mengatur hubungan kerja dan perlindungan terhadap mitra pengemudi.
Sejatinya, penyelenggaraan bisnis transportasi online di Indonesia merujuk pada Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 117 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek sebagaimana telah diubah dengan Permenhub Nomor 16 Tahun 2019.
Kemudian, Permenhub Nomor 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus sebagaimana telah diubah dengan Permenhub No. 17 Tahun 2019; dan Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat.Â
Namun demikian, landasan hukum transportasi online yang hanya diatur melalui Permenhub dianggap kurang memiliki kekuatan hukum, karena angkutan orang dan barang
secara konvensional diatur melalui peraturan yang lebih tinggi, yakni UU LLAJ dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
Komisi V DPR RI menyatakan siap memulai pembahasan undang-undang mengenai angkutan online yang akan menjadi regulasi khusus untuk transportasi berbasis aplikasi. Namun, pembahasan UU ini tidak bisa dilakukan hanya oleh satu pihak saja, mengingat isu yang diatur mencakup berbagai bidang lintas sektor.
"Undang-undang tentang angkutan online ini nanti, karena domainnya bukan hanya di Komisi V," kata Ketua Komisi V DPR Lasarus saat rapat kerja dengan driver aplikasi transportasi online di Senayan, Jakarta Pusat, Mei lalu.Â
Menurut Lasarus, sistem yang dibangun angkutan online itu merupakan kewenangan Komdigi selaku mitra kerja Komisi I DPR. Kemudian hubungan kerja antara driver dengan aplikator itu ada di Kementerian Ketenagakerjaan selaku  mitra Komisi IX.
Untuk sistem pembayaran (daring) terkait dengan OJK selaku mitra Komisi XI, dan juga Kementerian Hukum dan HAM untuk proses legislasi dan perundang-undangan.Â
Â
Dengan banyaknya aspek dan pemangku kepentingan dalam lingkup penyelenggaraan transportasi online, Lasarus membuka kemungkinan pembahasan dilakukan melalui panitia khusus (Pansus), bukan hanya panitia kerja (Panja) di Komisi V.
"Kami berpikir, atau mungkin bisa saya simpulkan, bahwa rumusnya nanti adalah Pansus. Karena tidak mungkin hanya Komisi V yang membahas seluruh aspek ini," ungkapnya Â
