Krisis Sungai Mekong dalam Kendali Tiongkok, Negara di ASEAN Ini Kena Getahnya

Sungai Mekong dari Tiongkok melintasi Laos, Thailand, Vietnam, Myanmar
Sumber :
  • mizzima

VIVA – Sungai Mekong, salah satu sungai terpanjang dan terpenting di Asia Tenggara, kini menghadapi krisis serius yang mengancam ekosistem, ekonomi, hingga stabilitas kawasan.

Anutin Charnvirakul Resmi Dilantik Jadi Perdana Menteri Thailand

Sungai sepanjang 4.800 kilometer yang berhulu di Dataran Tinggi Tibet, Tiongkok, ini mengalir dan menjadi sumber kehidupan bagi lebih dari 70 juta penduduk di Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, dan Vietnam.

Sungai ini merupakan perikanan pedalaman terbesar di dunia, menopang kehidupan lebih dari 70 juta orang, dengan 75 persen penduduk di hilir sungai bergantung langsung pada perikanan dan pertanian. Namun, jalur vital ini sedang dicekik habis-habisan akibat pembangunan bendungan besar-besaran di wilayah hulu oleh Tiongkok. 

Profil PM Baru Thailand Anutin Charnvirakul, Konglomerat yang Pernah Legalkan Ganja

Bendungan Jadi Alat Geopolitik

Tiongkok telah membangun serangkaian bendungan besar di hulu Sungai Mekong (di Tiongkok dikenal sebagai Sungai Lancang), menjalankan kendali sepihak atas aliran air sungai tanpa mempertimbangkan konsekuensi di hilir. 

Anutin Charnvirakul Terpilih Jadi PM Baru Thailand

Bendungan-bendungan ini bukan sekadar prestasi teknik, melainkan alat geopolitik. Dengan memanipulasi ketinggian air, Tiongkok telah berulang kali mengganggu aliran air musiman, memperparah kekeringan, dan mengganggu stabilitas ekonomi negara-negara tetangganya. Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam semuanya merasakan tekanan tersebut.

Dominasi hulu ini merupakan bagian dari strategi asertif Beijing yang lebih luas: menggunakan infrastruktur dan kendali sumber daya untuk memproyeksikan kekuasaan, mengesampingkan kerja sama regional, dan mengabaikan norma-norma internasional. 

Meskipun menyerukan transparansi dan pembagian air yang adil, Tiongkok menolak untuk bergabung dengan Komisi Sungai Mekong sebagai anggota penuh dan secara rutin menyembunyikan data hidrologi.

Inisiatif Kerja Sama Lancang-Mekong, yang diluncurkan pada tahun 2016, secara luas dipandang sebagai mekanisme untuk memecah belah konsensus regional dan memperkuat pengaruh Tiongkok.

Konsekuensinya sangat besar. Pembangunan pembangkit listrik tenaga air telah mengubah Sungai Mekong yang dulunya mengalir bebas menjadi sistem yang terfragmentasi, dengan dampak berantai pada pertanian, perikanan, dan industri skala kecil.

Jalur migrasi ikan terhambat, aliran sedimen terganggu, dan erosi tepi sungai semakin cepat. Danau Tonle Sap di Kamboja, yang dulunya merupakan kekayaan hayati, menyusut, mengancam ketahanan pangan dan keanekaragaman hayati.

Penambangan pasir, terutama di Kamboja dan Vietnam, menambah lapisan kerusakan lainnya. Didorong oleh lonjakan konstruksi, tingkat ekstraksi jauh melampaui pemulihan alami.

Delta Mekong di Vietnam sendiri kehilangan lebih dari 43 juta meter kubik pasir setiap tahunnya, hingga 17 kali lipat tingkat pemulihannya. Hal ini menguras dasar sungai, menurunkan muka air, dan menggerogoti produktivitas pertanian di wilayah tersebut.

Dampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim memperparah krisis. Meningkatnya suhu, curah hujan yang tidak menentu, dan kekeringan berkepanjangan yang diperparah oleh perubahan aliran akibat bendungan sedang membentuk kembali hidrologi sungai.

Denyut banjir tahunan, yang penting bagi distribusi sedimen dan siklus kehidupan akuatik, semakin melemah. Pada tahun 2050, area yang tergenang di cekungan Tonle Sap diperkirakan menyusut sebesar 11 persen, memangkas sedimentasi dan produksi primer akuatik masing-masing hingga 59 persen dan 38 persen. Kesuburan tanah dan stok ikan akan menurun, yang paling parah berdampak pada masyarakat termiskin.

Tenaga air, yang dulu digembar-gemborkan sebagai solusi energi bersih, terbukti membawa bencana bagi perekonomian dan ekologi. Studi menunjukkan bahwa hilangnya perikanan, sedimen, keanekaragaman hayati, dan mata pencaharian lebih besar daripada manfaat pembangkit listrik dan irigasi.

Keuntungannya mengalir ke elit perkotaan, pengembang, dan pemodal; kerugiannya ditanggung oleh penduduk pedesaan, terutama perempuan yang bergantung pada sumber daya sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pendapatan.

Keamanan manusia dipertaruhkan. Degradasi lingkungan, penggusuran, dan hilangnya mata pencaharian mendorong masyarakat ke ambang kehancuran. Transformasi Sungai Mekong dari sumber daya bersama menjadi perbatasan yang diperebutkan memicu ketimpangan dan ketidakstabilan.

Penolakan Tiongkok untuk menghormati hukum internasional dan pengabaiannya terhadap norma-norma tata kelola lintas batas hanya memperdalam krisis.

Kerangka kerja kelembagaan seperti Inisiatif Subkawasan Mekong Raya (GMS) Bank Pembangunan Asia dan Komisi Sungai Mekong (MRC) telah berjuang untuk mengimbangi dominasi Tiongkok. GMS, yang diluncurkan pada tahun 1992, bertujuan untuk mendorong perdamaian melalui konektivitas dan pembangunan.

Namun, visi liberalnya dirusak oleh diplomasi infrastruktur strategis Tiongkok. Sebaliknya, Kerja Sama Lancang-Mekong memprioritaskan kesepakatan bilateral dan pengambilan keputusan yang tidak transparan, sehingga mengesampingkan konsensus regional.
      
Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma. Para pembuat kebijakan harus menyadari nilai ekologis aliran alami Sungai Mekong dan berinvestasi dalam alternatif berkelanjutan seperti tenaga surya dan angin.

Pembagian data yang transparan, pengambilan keputusan yang inklusif, dan konsultasi yang tulus dengan masyarakat riparian sangatlah penting. Tanpa reformasi ini, Sungai Mekong berisiko menjadi kisah peringatan akan keruntuhan lingkungan dan pemaksaan geopolitik.

Krisis Mekong kini dilihat sebagai gambaran pertarungan geopolitik yang lebih luas. Dengan menjadikan air sebagai alat tekan-senjata, Tiongkok mempertegas dominasinya atas negara-negara tetangga, mengabaikan batasan ekologis dan norma-norma internasional. 

Nasib Sungai Mekong merupakan ujian lakmus bagi ketahanan regional, kerja sama, dan masa depan sumber daya alam bersama di era otoritarianisme yang semakin meningkat. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya