Manuver Otto Hasibuan: Penahanan Djoko Tjandra Tidak Sah

Otto Hasibuan.
Sumber :
  • Agustinus Hari/VIVAnews.

VIVA – Pengacara senior, Otto Hasibuan ditunjuk sebagai pengacara Djoko Tjandra atau DT usai ditangkap pada Kamis, 30 Juli 2020. Namun, Otto langsung bermanuver bahwa penahanan terhadap Djoko Tjandra tidak sah dan batal demi hukum.

Yusril-Otto Sepakat Tim Investigasi Independen Usut Demo Tak Perlu Dibentuk

Menurut dia, Djoko Tjandra resmi ditahan oleh Kejaksaan di Rutan Salemba cabang Bareskrim Polri pada Jumat, 31 Juli 2020. Penahanan sebagaimana dalam berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang diterbitkan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

“Penahanan dilakukan dalam rangka eksekusi Putusan Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali Nomor 12 PK/PID.SUS/ 2009 (putusan PK jaksa). Padahal, putusan PK jaksa tersebut jelas telah batal demi hukum berdasarkan Pasal 197 KUHAP,” kata Otto lewat keterangan tertulis yang diterima pada Senin, 3 Agustus 2020.

PK Kedua Ditolak MA, Jessica Wongso Gagal Balikkan Vonis Kasus 'Kopi Sianida'

Baca juga: Diminta Dampingi Djoko Tjandra, Otto Hasibuan Pertanyakan Eksekusi

Adapun, Otto menjelaskan kronologi dan fakta hukum kasus Djoko Tjandra dari awal hingga putusan PK jaksa bahwa telah batal demi hukum. Pertama, Djoko Tjandra telah dinyatakan dilepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging) pada 28 Agustus 2000.

Otto Hasibuan: Penegak Hukum Harus Prioritaskan Penanganan Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan

Hal itu berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 156/Pid.B/2000/ PN.JKT.SEL (putusan PN). Atas putusan tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan upaya hukum kasasi.

“Kemudian ditolak oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688 K/PID/2000 tertanggal 28 Juni 2001 (putusan Kasasi). Dengan adanya putusan Kasasi yang berkekuatan tetap, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan kemudian melakukan eksekusi putusan Kasasi tersebut dengan mengembalikan barang bukti kepada DT,” ujarnya.

Pada 2009 atau delapan tahun kemudian, kata Otto, jaksa kembali mengajukan upaya hukum PK dan diputus oleh Majelis Hakim Agung pada 11 Juni 2009. Upaya hukum ini jelas melanggar dan bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.

Yakni, kata Otto, Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa suatu putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap dikecualikan dari putusan yang dapat diajukan upaya hukum PK. Kemudian, Pasal 263 ayat (1) KUHAP juga mengatur bahwa hak untuk mengajukan upaya hukum PK tidak dimiliki oleh JPU.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya