Soroti Banyak Kasus Intoleransi, DPR: Negara Harus Hadir dengan Keadilan
- VIVAnews/Fernando Randy
Jakarta, VIVA - Berbagai peristiwa intoleransi yang terjadi belakangan ini disorot DPR RI. Beribadah sesuai keyakinan merupakan hak warga negara yang dijamin secara konstitusional.
Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya mengatakan tak ada alasan apapun yang membenarkan pembubaran aktivitas ibadah.
"Beribadah adalah hak konstitusional setiap warga negara dan wajib dilindungi oleh negara. Tidak ada alasan apapun membenarkan pembubaran aktivitas ibadah. Apalagi jika pembubaran diiringi dengan intimidasi dan persekusi," kata Willy Aditya, dalam keterangannya dikutip pada Rabu, 9 Juli 2025.
Willy mengajak semua masyarakat Indonesia bisa memupuk semangat persaudaraan antar umat-beragama.
“Kita ini bangsa yang dibangun dengan dialog, karena itu jangan mudah marah. Semua punya hak yang sama untuk beribadah. Semua punya kewajiban yang sama untuk menjamin berlangsungnya peribadahan dengan baik dan lancar, ” tutur politikus Nasdem itu.
Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya
- DPR RI
Pun, ia menambahkan, hak kebebasan beribadah sudah diatur secara tegas dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 dan 2. Dari aturan itu diatur bahwa setiap orang bebas meyakini kepercayaan, sesuai hati nuraninya, memeluk agama, demikian juga beribadat menurut agamanya.
Maka itu, Willy berharap semua warga negara menjadikan aturan itu sebagai pedoman dalam hidup berbangsa dan bernegara. Ia mengatakan Indonesia adalah negara hukum sehingga pembubaran paksa suatu ibadah tidak dapat dibenarkan.
"Dalam hukum kita, tidak ada ruang bagi tekanan kelompok untuk mengatasi prosedur negara. Jika ini dibiarkan, maka yang dilanggar bukan hanya hukum, tetapi juga prinsip kebinekaan itu sendiri," jelas Willy.
Lebih lanjut, dia mengatakan di dalam negara hukum, penegakan keadilan tak boleh tunduk pada tekanan mayoritas.
“Founding parents kita dengan sadar mendirikan negara berdasarkan hukum, maka hukum harus menjadi terdepan menjaga hidup bersama," lanjut Willy.
"Bukan soal mayoritas apalagi kekuasaan. Selama hak warga dijamin oleh konstitusi maka kewajiban negara untuk menjamin pemenuhannya. Tidak ada soal mayoritas menolak atau sejenisnya," ujarnya.
Menurut dia, kerukunan umat beragama akan terwujud bila yang merasa minoritas terus merasa aman menjalankan ibadah bahkan di lingkungan yang dirasa berbeda dengannya. Ia juga bilang toleransi bukan sekadar retorika.
Tapi, harus menjadi nilai yang diwujudkan dalam kebijakan, aturan, dan perilaku aparat negara.
"Kerukunan itu ada ketika semua umat saling menjaga satu sama lain. Bukan saling membatasi. Kalau kita benar-benar menghayati Pancasila, maka bersinergi di dalam perbedaan adalah bagian dari jati diri kita sebagai bangsa Indonesia,” sebut Willy.
Willy menilai perlunya penguatan dialog antar warga negara agar saling pengertian dan akhirnya persaudaraan kebangsaan benar-benar dapat nyata terwujud.
"Forum seperti FKUB atau lainnya jangan jadi stempel mayoritas. Dia harus jadi ruang dialog yang jujur dan setara," tuturnya.
"Jangan ada warga negara yang merasa didiskriminasi dalam menjalankan keyakinannya," ujar Legislator dari dapil Jawa Timur XI tersebut.
Lebih lanjut, Willy juga meminta agar aparat penegak hukum tidak ragu dalam menindak setiap tindakan intimidasi, provokasi, atau pembubaran ilegal terhadap kegiatan ibadah.
Dia mengingatkan dalam urusan intoleransi, negara mesti hadir dengan beri keadilan.
"Penegakan hukum yang tebang pilih justru memperbesar ruang intoleransi. Negara harus hadir dengan keadilan, bukan keberpihakan. Kami di DPR RI akan terus mengawal hal ini dengan serius,” kata Willy.
Sebelumnya, beberapa waktu lalu terjadi perusakan rumah terjadi di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Aksi itu dilakukan karena rumah menjadi lokasi retret keagamaan.
Dari video yang viral itu terlihat insiden perusakan dengan menunjukkan sekelompok orang menurunkan kayu salib sambil berteriak-teriak.
Sejumlah massa juga membubarkan retret pelajar Kristen di Cidahu, Sukabumi itu secara paksa. Polisi dalam kasus ini juga sudah menetapkan 8 tersangka.
Para tersangka tersebut dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang perusakan secara bersama-sama. Selain itu, mereka juga diancam Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang.
Lalu, kasus intoleransi lain belum lama ini juga terjadi di wilayah Depok, Jawa Barat. Warga RT 2 dan RT 5 RW 03 Kelurahan Kalibaru menggelar aksi menolak pembangunan gereja di Jalan Palautan Eres, Kecamatan Cilodong, Kota Depok. Videonya viral di media sosial.
Warga mengklaim penolakan dilakukan karena sejak awal tidak pernah ada sosialisasi ke warga sekitar soal pembangunan gereja.