RKUHAP Dinilai Problematik Secara Konseptual, Ini Penjelasannya

Diskusi soal RUU KUHAP
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA – Draf RKUHAP yang saat ini dbahas DPR dan pemerintah dinilai masih problematis secara konseptual. Pendekatan formalisme yang digunakan RKUHAP mengabaikan aspek perlindungan hak serta tak memberikan pemulihan terhadap pelanggaran prosedur. RKUHAP juga tidak sensitif terhadap keadilan korban. Jika diteruskan dinilai norma progresif yang sudah diakomodir dalam KUHP menjadi kehilangan makna.

Kerja Sama Institut Teknologi Sains Bandung dan University at Buffalo demi Pengembangan Kualitas Akademik

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Pujiyono menegaskan KUHAP seharusnya bukan hanya untuk kepentingan aparat. RKUHAP harus menjamin perlindungan hukum bagi semua pihak, terutama warga negara yang berhadapan dengan proses pidana.

Pengintegrasian sistem digital dalam penanganan perkara sejak tahap paling awal disebut Pujiyono sebagai salah satu usulan yang mengakomodir kepentingan semua pihak. 

Kuasa Hukum Yakin Hasto Bisa Kumpul Lagi di Kandang Banteng

Hal tersebut disampaikan Pujiyono dalam Konferensi Nasional Hukum Pidana 2025 bertema ‘Politik Hukum Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Dan Hukum Acara Pidana Indonesia: Membangun Sistem Hukum Yang Berkeadilan Dan Berperspektif HAM’ yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (ASPERHUPIKI) di Surabaya, Selasa 15 Juli 2025. 

“Usulan ini menekankan pentingnya penerapan sistem informasi berbasis teknologi sejak laporan polisi (LP) hingga tahap penyelidikan dan penyidikan. Mekanisme ini diharapkan dapat membangun transparansi dan akuntabilitas dalam kerangka Single Prosecution Platform (SPP) yang sedang dikembangkan,” jelas Pujiyono. 

KPK Pikir-pikir Larang Koruptor Lepas Masker: Ada Asas Praduga Tak Bersalah

Dirinya mengusulkan adanya kewenangan penyidikan tambahan oleh Penuntut Umum dengan jangka waktu yang cukup untuk menyelesaikan dan menentukan tindak lanjut penyidikan. Hal ini untuk menjawab pertanyaan apabila gelar perkara mengalami jalan buntu dalam RKUHAP yang dibahas DPR dan pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban publik.

“Usulan ini muncul sebagai jawaban atas kekhawatiran publik terhadap praktik tarik-ulur perkara dan pelemahan prinsip due process of law,” tegasnya.

Dalam konferensi ini pula, sejumlah tokoh akademik menyampaikan kritik mendalam terhadap substansi dan proses legislasi RKUHAP. Konferensi Nasional mengusung tema ini diyakini memperkuat posisi akademik dengan dukungan data empiris. Yoes C Kenawas dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), memaparkan hasil survei terhadap pakar hukum pidana menunjukkan mayoritas responden (78,3%) menilai perlu adanya batas waktu maksimal untuk penyidikan. 

Sebanyak 99% menyatakan pentingnya kewajiban penyidik untuk memberitahu hak-hak tersangka sejak awal proses hukum. Lebih dari 90% responden bahkan menyebut KUHAP saat ini tidak cukup melindungi hak tersangka maupun korban. Temuan ini mempertegas bahwa pembaruan hukum acara adalah kebutuhan sistemik yang sudah dirasakan luas, bukan sekadar wacana di ruang akademik.

Ketua ASPERHUPIKI, Dr. Fachrizal Afandi menilai pembaruan KUHP telah mengadopsi semangat keadilan restoratif, perlindungan korban, dan pengakuan terhadap kelompok rentan. Namun Draf RKUHAP, menurutnya, justru masih mempertahankan pendekatan lama yang terlalu menitikberatkan pada dominasi aparat penyidik, minim pengawasan yudisial, dan belum membuka ruang bagi jaksa sebagai dominus litis.

Fachrizal menyampaikan bahwa jika RKUHAP tetap disahkan dalam bentuk saat ini, maka berbagai norma progresif dalam KUHP seperti pidana kerja sosial, pidana pengawasan, hingga pengakuan atas pidana korporasi akan kehilangan makna.

“Karena tidak didukung dengan prosedur hukum acara yang kompatibel. KUHP dan KUHAP adalah dua sisi dari satu sistem yang tidak bisa dibangun secara terpisah dan bertentangan,” ungkapnya.

Pernyataan Fachrizal mengamini argument Dekan Fakultas Hukum UNAIR Iman Prihandono, yang menegaskan bahwa sistem hukum pidana yang baik hanya dapat berjalan apabila substansi hukum (KUHP) dan prosedur hukum (KUHAP) saling bersinergi.

Menurutnya, hukum acara pidana bukan semata-mata dokumen teknis, tetapi merupakan jaminan keadilan dan perlindungan hak asasi manusia bagi setiap warga negara. 

Sependapat, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo mencontohkan bagaimana KUHP baru berhasil mereformulasi beberapa delik seperti penghinaan presiden, perzinahan, hingga memperluas pengertian perkosaan secara gender netral.

Namun, ia mengingatkan bahwa semua kemajuan normatif tersebut tidak akan berdampak bila tidak disertai dengan instrumen prosedural yang mendukung di dalam RKUHAP.  

Kendati pernah menjadi anggota tim ahli pemerintah dalam penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), Harkristuti secara terbuka menyatakan tidak bertanggung jawab atas draf RKUHAP yang saat ini dibahas DPR.

Harkristuti mengaku ragu masukan tim ahli pernah benar-benar dipertimbangkan dalam penyusunan akhir. Proses legislasi RKUHAP dipandang akademisi cenderung tertutup, tidak partisipatif, dan menjauh dari pendekatan akademik yang seharusnya menjadi dasar perumusan undang-undang sebesar KUHAP. 

Sementara akademisi UNAIR, Nur Basuki Minarno menyoroti kegagalan sistem pembuktian dalam KUHAP yang masih menganut sistem inkuisitorial, tanpa perlindungan hak-hak terdakwa secara memadai. Ia mengusulkan agar pembuktian dalam RKUHAP mendatang menjamin due process of law.

“Mendorong pembalikan beban pembuktian dalam kasus tertentu seperti korupsi dan TPPU, serta memberikan perlindungan terhadap penggunaan alat bukti yang diperoleh secara tidak sah,” katanya.

Konferensi ini ditutup dengan pernyataan dari Ketua Panitia, Dr. Amira Paripurna, bahwa seluruh masukan, kritik, dan pemikiran yang muncul dalam forum ini akan dirangkum dalam laporan akademik dan disampaikan secara resmi kepada Panitia Kerja DPR serta Kementerian Hukum dan HAM sebagai bentuk tanggung jawab akademisi terhadap masa depan hukum acara pidana Indonesia. Dirinya menegaskan bahwa forum ini bukan hanya ajang akademik, melainkan bagian dari dorongan intelektual terhadap proses legislasi yang tidak berpihak pada keadilan.

ASPERHUPIKI dan FH UNAIR juga menegaskan komitmen mereka untuk terus mengawal pembaruan sistem hukum pidana secara menyeluruh. Dengan menggandeng jaringan perguruan tinggi dan masyarakat sipil di berbagai wilayah, mereka berupaya memastikan agar hukum pidana Indonesia benar-benar menjamin keadilan prosedural, perlindungan korban, dan akuntabilitas kekuasaan hukum. 

Sementara Wakil Menteri Hukum Eddy OS Hiariej menekankan pembaruan KUHP dan RKUHAP adalah bagian dari proyek hukum nasional menuju Indonesia Emas 2045. Ia menyebut KUHP Nasional 2023 sebagai produk monumental yang menandai kematangan bangsa dalam membangun hukum pidana sendiri, dengan semangat humanisme, keadilan korektif, dan pemidanaan yang proporsional.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya