200 Tahun Perang Jawa: Mengenang Perjuangan Pangeran Diponegoro
- Galery
Jakarta, VIVA – Tahun 2025 menandai dua abad sejak meletusnya Perang Jawa (1825–1830), salah satu konflik terbesar dalam sejarah perlawanan rakyat Nusantara terhadap penjajahan Belanda. Perang ini merupakan bentuk perlawanan masif yang melibatkan rakyat dari berbagai kalangan dan wilayah di Jawa, menandai babak penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Perang ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, putra dari Sultan Hamengkubuwono III. Diponegoro dikenal sebagai sosok yang religius, kharismatik, dan sangat mencintai bangsanya. Kekecewaannya terhadap dominasi Belanda dalam urusan istana, serta pembangunan jalan yang melintasi makam leluhurnya tanpa izin, menjadi pemicu perlawanan. Ia menolak tunduk pada kekuasaan kolonial yang sewenang-wenang.
Diponegoro memimpin gerakan rakyat yang terdiri dari petani, ulama, bangsawan lokal, dan santri. Ia tidak hanya menjadi komandan perang, tapi juga simbol spiritual yang menyatukan semangat perlawanan. Dengan taktik gerilya yang efektif, pasukannya membuat Belanda kewalahan. Perang ini memaksa pemerintah kolonial mengerahkan sumber daya besar dan menjadikannya konflik paling mahal yang pernah dihadapi Belanda di Asia.
Sayangnya, Pangeran Diponegoro akhirnya ditangkap melalui tipu daya saat menghadiri perundingan damai di Magelang pada tahun 1830. Ia diasingkan ke Makassar hingga wafat pada 1855. Meski begitu, perjuangannya tetap hidup dan dikenang sebagai lambang perlawanan terhadap ketidakadilan dan penjajahan. Diponegoro telah mengukir jejak penting dalam sejarah bangsa sebagai pahlawan sejati.
Perang Jawa juga mengungkap kekuatan rakyat dalam melawan penindasan. Perpaduan antara spiritualitas, budaya lokal, dan keteguhan hati membuat perlawanan ini sangat berkesan. Dukungan lintas kelas sosial membuktikan bahwa perjuangan kemerdekaan bukan hanya milik bangsawan atau militer, tetapi milik seluruh rakyat.
Untuk mengenang peristiwa monumental ini, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) menggelar program bertajuk “MARTABAT” dari 20 Juli hingga 20 Agustus 2025. Program ini bertujuan menghidupkan kembali ingatan kolektif bangsa terhadap perjuangan Diponegoro melalui penguatan literasi kebangsaan dan pelestarian warisan sejarah.
Konferensi pers Mengenang 200 Tahun Perang Jawa
- VIVA/Krisna Wicaksono
Program “MARTABAT” menampilkan serangkaian kegiatan seperti pameran artefak langka, diskusi sejarah, teater, pemutaran film dokumenter, hingga bedah naskah kuno. Salah satu naskah utama yang diangkat adalah Babad Diponegoro, karya otobiografi yang ditulis sendiri oleh Diponegoro, yang telah diakui UNESCO sebagai Memory of the World sejak 2013.
Menurut Kepala Perpusnas, E. Aminudin Aziz, kata “Martabat” dipilih sebagai tajuk utama karena menggambarkan esensi dari perjuangan Diponegoro. “Martabat” tidak hanya berbicara soal harga diri pribadi, tetapi juga harga diri kolektif bangsa dalam melawan penjajahan, korupsi, dan ketidakadilan.
Program ini juga menghadirkan tokoh nasional seperti Presiden RI yang membuka acara dengan pidato bertema Pelajaran dari Patriotisme Diponegoro untuk Indonesia Maju. Selain itu, turut hadir Sultan Hamengkubuwono X dan sejumlah akademisi seperti Prof. Peter Carey, Dr. Oman Fathurahman, dan Rieke Diah Pitaloka yang membahas relevansi perjuangan Diponegoro di masa kini.
Dalam bidang seni, teater “Diponegoro” disutradarai oleh Wawan Sofwan akan dipentaskan. Seniman visual seperti Ghanlyeo dan Jono Sugiartono turut memamerkan lukisan bertema Imagi Visual Spirit Diponegoro. Pementasan dan karya seni ini memperkaya pemahaman publik terhadap sisi spiritual dan emosional perjuangan tersebut.
Dari ranah film, sejumlah karya dokumenter seperti Diponegoro 1830 karya Subiyanto dan Syis Paindow juga ditayangkan, disertai diskusi bersama para produser. Kegiatan ini memberikan ruang dialog yang melibatkan berbagai generasi, menyatukan pengetahuan sejarah dengan ekspresi seni kontemporer.
Sorotan utama pameran “MARTABAT” adalah koleksi pribadi Diponegoro, sketsa, surat, serta berbagai versi naskah Babad. Pameran disusun secara tematik agar pengunjung dapat memahami fase-fase penting kehidupan Diponegoro, termasuk masa kecilnya (Mustahar), Perang Sabil, dan babak Lentera Bangsa.
Pameran ini juga hadir dalam versi digital melalui Google Arts & Culture, memungkinkan masyarakat global untuk mengakses warisan sejarah bangsa Indonesia. Pendekatan digital ini memperluas jangkauan literasi sejarah lintas batas negara dan generasi.
Rangkaian kegiatan lainnya meliputi lokakarya kaligrafi aksara Pegon, diskusi soal jamu tradisional, dan bedah buku Babad Kedhung Kebo. Semua ini menunjukkan bagaimana budaya lokal, spiritualitas, dan pengetahuan tradisional menjadi bagian penting dari perjuangan.
Melalui kegiatan ini, peringatan 200 tahun Perang Jawa bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga menjadi ruang refleksi untuk membangun masa depan yang lebih berdaulat, adil, dan bermartabat. Spirit perjuangan Diponegoro menjadi inspirasi untuk memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan dalam konteks kekinian.
"Kami percaya, ingatan kolektif bangsa harus terus dipelihara agar martabat bangsa tetap tegak. Inilah tekad kami dalam mengembangkan khidmat kebangsaan melalui literasi dan pelestarian sejarah," ujar Aminudin, dikutip Jumat 18 Juli 2025.