Remisi Ronald Tannur Dinilai Sulit Diterima Publik, Pengamat Hukum Pidana: Harus Ada Orang Independen dan Transparan

Terdakwa Gregorius Ronald Tannur saat jalani persidangan di PN Surabaya.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Nur Faishal (Surabaya)

Jakarta, VIVA – Pemberian remisi kepada Gregorius Ronald Tannur, terpidana kasus kematian Dini Sera Afriyanti, terus menimbulkan pro-kontra. Publik menilai keringanan hukuman bagi pelaku kasus berat seperti Ronald maupun Mario Dandy hanya menambah ketidakpercayaan terhadap sistem hukum di Indonesia.

Remisi Ronald Tannur Picu Polemik, Eks Wamenkumham: Bisa Digugat, Tapi Akar Masalahnya Duitokrasi

Menanggapi hal ini, Pengamat Hukum Pidana Universitas Indonesia, Aristo Pangaribuan, menilai wajar jika publik sulit diyakinkan soal pemberian remisi. Menurutnya, bahkan di negara-negara dengan sistem hukum transparan sekalipun, keputusan seperti ini tetap bisa memicu kontroversi.

“Kalau meyakinkan publik 100% ya pasti enggak bisa lah ya. Di sistem yang transparan pun pasti ada kontroversial. Di negara-negara maju ketika memberikan hukuman kepada warga binaan atau narapidana,” kata Aristo Selasa 19 Agustus 2025 dikutip tvOne.

Sahroni Bilang Remisi Setya Novanto Sudah Sesuai Koridor Hukum

“Tapi yang paling penting adalah tadi saya sudah katakan konsepnya baik ya, memanusiakan kembali orang yang pernah salah. Tetapi exercise atau metodologi untuk mengexercise kewenangan dan hak itu yang perlu ada perubahan,” sambungnya.

Aristo menekankan bahwa yang perlu diperbaiki adalah desain dan mekanisme pemberian remisi. Ia mencontohkan beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, hingga Inggris yang melibatkan pihak independen dalam penentuan remisi.

Putri Candrawathi Kebagian Remisi HUT RI, Segini Total Potongan Hukumannya

“Tadi saya sudah berikan ilustrasi ya, bagaimana negara-negara tetangga atau negara-negara yang lebih maju, Singapura, Malaysia, Amerika, dan Inggris itu mereka mempunyai seperti TPP. TPP itu kan tim pengamat permasyarakatan, itu yang menentukan tuh remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat,” bebernya.

Sehingga menurut Aristo penting untuk ada orang yang independen.

“Nah, ini harus ada orang independennya. Jangan proses yang tertutup dan birokratis. Kalau sekarang kan ini prosesnya tertutup, birokratis. Isinya ya pegawai negeri, Kementerian Hukum aja semua,” jelasnya.

Transparansi dan keterbukaan akses, sambung Aristo, menjadi kunci untuk mengurangi kecurigaan publik terkait praktik koruptif dalam pemberian remisi.

“Nah, sekarang untuk kita mereduksi kontroversialitas itu, walaupun tentunya kita enggak bisa jamin, apa yang bisa dilakukan tadi memperbaiki sistemnya. Dan pengambilan keputusannya itu lebih transparan. Yang kedua itu accessible. Ya, argumentasi-argumentasinya accessible,” ujarnya.

Dengan begitu, kata Aristo, negara bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa pemberian remisi dijalankan dengan hati-hati dan penuh kehati-hatian, sehingga meminimalisir peluang jual beli remisi maupun manipulasi.

“Sehingga dalam hal ini negara itu sudah menunjukkan kepada rakyatnya, saya sudah mengexercise kewenangan itu dengan prudent, dengan hati-hati, sehingga menutup atau tidak mungkin menutup ya, meminimalisir praktik yang ditakutkan oleh Prof. Denny, yaitu dijual beli misalnya, manipulasi. Itu setidaknya yang bisa dilakukan. Jadi dimulai dari desainnya,” tutur Aristo.

Ia mengingatkan bahwa akar masalah sistemik dalam hukum Indonesia tidak cukup diselesaikan dengan langkah hukum biasa, seperti gugatan ke pengadilan. Menurutnya, diperlukan perombakan dari desain normatif hukum agar kepercayaan publik bisa kembali.

“Tadi Prof. Denny (eks Wamenkumham) menarik, jauh sampai ke pemiluan. Dalam hukum itu sangat sistemik juga, bukan hanya di proses lapas. Dan bagaimana cara mereduksi, ya mengobati sistemik itu, tadi saya setuju bukan hanya dengan gugatan-gugatan normal. Itu sama saja memberikan plester kepada luka yang besar. Tapi mulailah dari desain hukumnya,” tutup Aristo.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya