Suara Korban Teror Menggugat Pemerintah

Vivi Normasari, penyintas aksi terorisme saat memberikan paparan
Sumber :
  • Aryo Wicaksono/ VIVA.co.id

"RSPAD awalnya menolak, kami minta data enggak dikasih. Tapi beberapa hari kemudian hubungi kembali, minta tanggung jawab karena enggak ada yang mau bayar," kata Sucipto.

Korban Aksi Terorisme Akan Mendapat Ganti Rugi

Sampai para korban pulang dari rumah sakit pun, masih saja belum ada kejelasan mengenai lembaga yang melunasi biaya perawatan korban.

Kasus spesifik adalah yang terjadi pada seorang mahasiswa bernama Dwi. Saat kejadian, Dwi terkena hempasan bom sehingga terpelanting dan kepalanya membentur jalanan. Dia langsung dibawa ke rumah sakit terdekat, Rumah Sakit Ibu dan Anak YPK Mandiri. Semua memar dan luka di tubuhnya ditangani pihak rumah sakit dan diperbolehkan pulang, karena hanya mengalami luka ringan.

LPSK Perjuangkan Besaran Kompensasi Korban Teroris

Setelah sampai rumah, dia muntah-muntah, dan kepalanya pusing. Akhirnya dia kembali ke rumah sakit terdekat dari indekosnya di daerah Grogol. Di rumah sakit, dia mengaku sebagai korban teroris tapi pihak rumah sakit meminta dokumen resmi yang menyatakan demikian. Tak mau repot, Dwi lantas membayar semua biaya perawatan hingga Rp10 juta. Hasil pemeriksaan CT Scan menunjukan adanya retakan di kepala bagian belakang.

Hasil diagnosa itu membuatnya tak cukup hanya sekali menjalani perawatan. Akhirnya YPI ikut membantu, menghubungi Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) Polda Metro Jaya dan meminta mereka menyatakan Dwi sebagai korban. "Akhirnya Biddokkes menjelaskan ke rumah sakit, dan uang Dwi Rp10 juta itu pun dikembalikan," ucap salah satu pembina korban di YPI, Vivi Normasari. 

Cerita Korban Aksi Terorisme soal Minimnya Uluran Pemerintah

Tapi masalah Dwi tidak berhenti sampai situ, karena masih perlu menjalani perawatan lanjutan, sedangkan tak semuanya dibiayai Biddokkes Polda Metro Jaya.

Menurut Sucipto dan Vivi, peran negara selama ini sangat minim untuk membantu para korban. Semua urusan menyangkut biaya perawatan pun tak semuanya dipenuhi. Selama ini, YPI dan para penyintas selalu berhubungan dengan LPSK sebagai lembaga yang punya wewenang sesuai undang-undang, untuk menangani korban kekerasan.

Sayangnya, LPSK tak memiliki cukup anggaran untuk membiayai keseluruhan biaya perawatan para korban. Bahkan, karena tak ada mekanisme dan aturan baku yang mengatur mengenai kompensasi korban teror, lembaga itu juga takut saat audit mereka akan disangka korupsi karena membuat diskresi. "Mereka khawatir, ini kan bentuknya inisiatif," jelas Sucipto.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya