Suara Korban Teror Menggugat Pemerintah

Vivi Normasari, penyintas aksi terorisme saat memberikan paparan
Sumber :
  • Aryo Wicaksono/ VIVA.co.id

Sucipto menjelaskan, bagi korban, umumnya perawatan yang mereka butuhkan tak hanya meliputi biaya penanganan pertama setelah peristiwa terjadi. Banyak korban masih harus menjalani perawatan lanjutan, karena mendapatkan gejala pusing, cacat permanen, dan trauma psikologi.

7 Korban Bom Bunuh Diri di Medan Terima Kompensasi Rp140 Juta

Untuk korban bom di depan Kedutaan Australia di Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka mendapatkan bantuan biaya dari Australia, sedangkan korban bom lainnya dari Yayasan Nurani Dunia. "Dana dari Australia sudah berhenti, mereka hanya sampai empat tahun setelah peristiwa," ucap Sucipto. 

Hal serupa juga dialami Yayasan Nurani Dunia, lembaga ini tak bisa selamanya membantu biaya pengobatan karena terkadang perawatan pun harus dilakukan di luar negeri. Sementara, "sekitar 60 persen dari korban itu menengah ke bawah secara ekonomi," jelas Vivi.

UU Antiterorisme yang Baru Lebih Detail Atur Hak Korban

Beruntung, LPSK membuat terobosan dengan memberikan Kartu LPSK pada korban untuk biaya pengobatan. "Katanya sih enggak ada limit-nya," ungkap Sucipto.

Syaratnya, mereka bisa memberikan lampiran diagnosa dokter terhadap luka yang dialami akibat kejadian, termasuk diagnosa penyakit selama hidup. Tak hanya itu, mereka juga meminta keterangan dari kepolisian yang menyatakan bahwa mereka adalah korban.

Wewenang Terbatas, Tak Semua Pelaku Teror Terjangkau BNPT

Setelah itu, komisioner LPSK masih perlu merapatkan dulu untuk menyatakan bahwa korban ini berhak mendapatkan kartu berobat itu. Alhasil, sejak LPSK mendapatkan wewenang dari undang-undang untuk mendampingi korban teror pada 2014, dari sekitar 200 korban yang terdata YPI, baru 28 orang yang menerimanya. "Ada 24 di Bali, dan 4 di Jakarta," terang Vivi.

Padahal, jumlah korban seluruh aksi teror di Indonesia sejak 2000, diperkirakan ada lebih dari 700 orang. 

Hak Korban dan Kewajiban Negara

Menurut Vivi, semua syarat sudah dipenuhi korban dalam meminta hak mereka pada negara, sebagaimana tercantum dalam undang-undang. Bahkan, "pada putusan Ismail (terdakwa terorisme) hakim menyatakan dalam putusannya, memberikan kompensasi pada korban meninggal dunia dan luka-luka, tapi sampai sekarang tidak juga diberikan. Saat kita kasih tahu LPSK, LPSK malah minta korban menunjukkan salinan asli putusan tersebut. Masa kita korban yang disuruh ke pengadilan dan meminta salinan?"

Sucipto menegaskan, permintaan kompensasi ini menyangkut kewajiban negara untuk menunjukan kehadiran mereka pada warganya. Hal ini menjadi fungsi perlindungan negara bagi warga. Baginya, negara seperti melupakan para korban. "Enggak, sama sekali pemerintah enggak bantu," tegas Sucipto.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya