Ketika Parpol Kecil di Luar Parlemen Tolak PT 5 Persen

Ilustrasi warga mengikuti pemungutan suara ulang pemilihan umum (pemilu) 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

VIVA – Revisi UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, saat ini tengah dipersiapkan oleh DPR. Draft RUU sudah akan dibahas. Diantara point yang dipersoalkan, kenaikan Parliamentary Treshold  (PT) atau ambang batas parlemen.

Terpopuler: Komunikasi Terbaru PDIP dengan Anies, Gugatan "Blunder" Partai Gelora

Persoalan PT, sebenarnya menjadi perdebatan yang tidak pernah berakhir jika UU Pemilu direvisi. Terutama antara partai-partai besar dengan partai kecil, baik yang ada di parlemen maupun non parlemen.

Draft RUU yang disiapkan saat ini, memasukkan angka PT menjadi 5 persen. Naik dari yang berlaku saat pemilu 2019 yakni PT 4 persen. Artinya, jika jumlah suara secara nasional dari partai politik tidak mencapai 5 persen, maka tidak bisa menempatkan wakilnya di DPR. Meskipun calon legislatif partai itu meraup suara tertinggi.

Gugatan "Blunder" Partai Gelora Membuka Jalan Bagi PDIP dan Anies

Rencana untuk mengatrol PT menjadi 5 persen, mendapat penolakan sejumlah partai. Baik itu yang baru akan bertarung di pemilu 2024 seperti Partai Gelombang Rakyat (Gelora), maupun partai non-parlemen seperti Partai Berkarya.

Sekjen DPN Partai Gelora, Mahfudz Sidiq menilai jika ambang batas parlemen itu dinaikkan, akan sangat merugikan banyak partai. 

Anggap UU Pilkada Tak Adil, Partai Buruh dan Partai Gelora Ajukan Gugatan ke MK

Baca juga: Gelora: PT 4 Persen Saja Hanguskan Suara 15,6 Juta Pemilih

"Secara subjektif, sebagai partai baru, Gelora Indonesia tentu ingin PT tidak naik dari 4 persen. Karena faktanya di Pemilu 2019 lalu, tidak mudah mencapai atau melampaui angka PT 4 persen," kata Mahfudz, dalam keterangan persnya.

Tidak hanya merugikan partai politik. Tetapi penerapan PT yang tinggi yakni 5 persen, berpotensi merugikan rakyat. Akan semakin banyak suara pemilih yang hangus jika ambang batas diterapkan sangat tinggi tersebut.

"PT 4 persen saja telah menghanguskan suara 15,6 juta pemilih di Indonesia. Jumlah suara tersebut, jika di negara-negara Eropa dan sebagian wilayah Asia, sudah cukup untuk menjadi pemenang pemilu atau jadi presiden terpilih," katanya.

Penolakan senada juga disampaikan Partai Berkarya. Melalui Sekjen Badaruddin Andi Picunang, menurut mereka revisi terhadap UU Pemilu mestinya tidak dilakukan dalam waktu yang terlalu cepat.

UU Pemilu yang berlaku sekarang, baru disahkan 2017. Digunakan sebagai landasan hukum pilkada setelah itu, dan pemilu legislatif serta pemilu presiden tahun 2019. Menurut Berkarya, terlalu cepat kalau tahun ini sudah direvisi lagi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya