Bahas RUU Penyiaran, Anggota Fraksi Golkar DPR Cari Solusi yang Adaptif Inklusif
- Istimewa
Jakarta, VIVA – Dengan teknologi informasi yang berkembang pesat, membuat penyiaran informasi bisa dilakukan melalui multiplatform. Untuk itu, perlu aturan yang bisa menjadi solusi, dalam interaksi antara penyedia dan pengguna layanan siaran.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Yudha Novanza Utama, menjelaskan terkait pentingnya reformasi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sebelumnya telah diubah melalui UU Cipta Kerja.
Lewat Panja RUU Penyiaran, Komisi I DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Direktur Jendral Ekosistem Digital, Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Republik Indonesia (RRI), LPP TVRI , dan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara. RDPU dilaksanakan beberapa waktu lalu.
Anggota Panja RUU Penyiaran, Yudha Novanza Utama, mengatakan UU menunjukkan kehadiran negara dalam pengaturan penyiaran di Indonesia. Sehingga menciptakan ekosistem media yang demokratis, adil, dan tidak mengurangi kebebasan pers.
“RUU Penyiaran yang dibahas saat ini, memiliki tujuan untuk menciptakan ekosistem media yang sehat dan demokratis. Sehingga menjadi Solusi, yang adaptif dan bersifat inklusif, bukan sebaliknya untuk membatasi kebebasan kawan-kawan pers,” kata Yudha dalam keterangannya di Jakarta, Jumat 14 Maret 2025.
Jelas dia, RUU Penyiaran ini juga untuk menghadapi kompleksitas dari beragamnya bentuk, kanal distribusi, dan pola konsumsi konten digital. Pendekatan regulasi baru diperlukan untuk menyeimbangkan perlindungan publik dengan dinamika inovasi ekonomi digital.
“Nantinya akan ada standar dan kode etik multiplatform, salah satunya sistem sensor yang menjadi model transparansi, klasifikasi konten, dan pemberdayaan pengguna. Sehingga nantinya, bisa memberikan perlindungan komprehensif mencakup: verifikasi usia yang efektif, algoritma yang mempertimbangkan faktor usia, khususnya untuk anak-anak,” ujarnya.
Jelas Yudha, konten lokal perlu pembaharuan lewat aturan untuk platform digital. Dimana memiliki perpustakaan konten lebih besar, mencakup kewajiban investasi dalam produksi lokal, ketersediaan dan visibilitas konten Indonesia, serta partisipasi dalam pengembangan industri kreatif nasional. Kebijakan didukung insentif fiskal, pengembangan talenta, dan infrastruktur produksi.
“Pendekatan menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan tanggung jawab terhadap standar konten melalui penguatan mekanisme moderasi komunitas, edukasi kreator, dan transparansi pedoman konten platform,” terangnya.
Dalam hal ini, lanjut dia menjelaskan, negara punya lembaga penyiaran sekaligus masuk dalam unsur pers, yang mampu memberikan pedoman dalam penyusunan RUU Penyiaran.
“Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2002 Pasal 14 ayat (1) menetapkan bahwa Lembaga Penyiaran Publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan Masyarakat,” jelasnya.
“Dalam era digital yang rentan terhadap disinformasi, lembaga pemberitaan milik negara memiliki peran strategis sebagai sumber berita yang kredibel,” lanjutnya.
Apalagi dengan adanya organisasi seperti PRSSNI dan ATVSI, yang memberi masukan, diharapkan bisa lebih komprehensif untuk penyusunan RUU Penyiaran. Sehingga lahir peraturan yang adaptif pada perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta mampu melindungi kepentingan nasional di era multiplatform.
“Masukan yang diperoleh nantinya, akan menjadi bagian dari proses konsultasi publik yang komprehensif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk lembaga pemerintah,” pungkasnya.