Curhat Ketua KPU: Sering Kena 'Hajar' gegara Putusan MK
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta, VIVA - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mochammad Afifuddin mengaku pihaknya sering kena hajar oleh masyarakat imbas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemilu.
Afif mengatakan seperti itu dalam acara diskusi bertajuk “Proyeksi Desain Pemilu Pasca Putusan MK” yang digelar Fraksi PKB di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat, 4 Juli 2025.
Awalnya, dia mengungkap syukur karena putusan MK terkait pelaksanaan pemilu nasional dan daerah dipisah itu keluar setelah masa pemilihan umum (pemilu) rampung.
"Bapak Ibu sekalian, putusan MK ini kalau kita bisa syukuri alhamdulilahnya setelah Pilkada ya kan," kata Afif dalam diskusi.
Ilustrasi logo Mahkamah Konstitusi.
- VIVA/M Ali Wafa
Afif pun mengungkit soal putusan MK yang sebelumnya keluar pada saat tahapan pemilu. Hal ini, kata dia, membuat KPU terkena dampak dan kritik oleh masyarakat.
"Untuk membedakan, putusan 90, 60, dan 70 pilkada kemarin pencalonan semua di masa tahapan. Yang kena sampur ya KPU terus kok. Iya kan? Yang ketiban sampur, KPU terus, yang kena hajar ya KPU terus, termasuk ketika PSU-PSU ini," tutur dia.
"Masalahnya apa juga kita kerjakan semua paling rumit se-Indonesia, sedunia, yang 2024 aja dikerjakan kok," lanjut Afif.
Di sisi lain, Afif juga menegaskan pihaknya tak dimintai keterangan sama sekali terkait dengan putusan MK Nomor 135 soal pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah ini.
Dia bilang perkara terkait pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah itu memang salah satu yang banyak diuji.
"Nah, ini di antara yang memang tidak meminta keterangan kami sebagai penyelenggara meskipun alasannya juga sama dengan kesimpulan banyak pihak," ujarnya.
Sebelumnya, MK memutuskan keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) dalam hal ini Pilpres, pemilihan DPR, DPD RI akan dipisahkan dengan pemilihan DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah (Pilkada) tingkat gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota mulai 2029 mendatang.
MK memutuskan sebagian permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), terkait norma penyelenggaraan Pemilu Serentak.
"Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) dsn Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat secara bersyarat," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 26 Juni 2025.
MK dalam pertimbangannya memerintahkan pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan untuk memilih anggota DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota, dan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota.
"Sehingga Pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai Pemilu lima kotak tidak lagi berlaku," tutur Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan.