Sri Mulyani Tak Setuju Rakyat Kena Pajak Flat: Orang Sangat Kaya dan UMR Pasti Beda

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anisa Aulia

Jakarta, VIVA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merespons, terkait Ekonom Amerika Serikat (AS) Arthur B.Laffer yang menyarankan agar menerapkan tarif pajak flat atau tetap. Menurutnya, sistem pajak di Indonesia tidak bisa disamakan dengan sistem pajak flat.

13 Cara Hidup Mewah ala Miliarder Meski Gaji Pas-pasan, Kelas Menengah Mau Coba?

Sri Mulyani mengatakan, prinsip keadilan dan distribusi sosial menjadi alasan mengapa Indonesia menerapkan tarif pajak progresif.

"Kalau yang sangat kaya dengan yang pendapatannya hanya di UMR bayar pajaknya sama, setuju nggak? Saya hampir yakin semua bilang nggak setuju," ujar Sri Mulyani dalam acara CNBC Economic Outlook 2025 Rabu, 18 Juni 2025.

10 Orang Kaya Raya dari Investasi Kripto, Ada yang Dulunya Dokter Jadi Bos Tether

Ilustrasi Pajak.(istimewa/VIVA)

Photo :
  • VIVA.co.id/B.S. Putra (Medan)

Sri Mulyani menjelaskan, Indonesia menganut sistem pajak penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP) dengan lima lapisan tarif diantaranya 5 persen, 15 persen, 25 persen, 30 persen, dan 35 persen. 

DPR Sentil Menkeu Purbaya, Diminta Tak Berpolemik dengan Bahlil soal Subsidi Gas 3 Kg

Dia mengatakan, sistem ini dibuat dengan prinsip keadilan, yang mana masyarakat memiliki pendapatan tinggi dikenakan pajak yang lebih besar oleh pemerintah.

"Itu pasti beda banget dengan yang di advocate Pak Arthur Laffer, karena kita mengatakan yang pendapatannya di atas Rp 5 miliar dengan yang pendapatannya Rp 60 juta per tahun. Ya harusnya ratenya beda Itu azas keadilan," terangnya.

Selain itu, Sri Mulyani menuturkan tarif pajak penghasilan sebesar 22 persen yang dikenakan untuk korporasi masih tergolong moderat dibandingkan negara lainnya. Sebab menurutnya, beberapa negara mengenakan tarif lebih tinggi, bahkan mencapai 30–35 persen.

Sri Mulyani mengatakan, pajak progresif merupakan bagian dari instrumen fiskal untuk mengurangi ketimpangan. Sebagai contoh jelasnya, tanpa intervensi pemerintah melalui belanja negara, kelompok masyarakat miskin tidak akan bisa bersaing secara adil dalam sistem pasar.

"Nggak mungkin anak-anak yang bayinya tidak diimunisasi atau yang gizinya kurang bisa bersaing secara sempurna dan adil dengan mereka yang bayinya gizinya baik," jelasnya.

Sementara itu, Ekonom ternama asal Amerika Serikat (AS), Arthur B.Laffer dalam kesempatan terpisah menekankan pentingnya sistem perpajakan yang netral dan tidak diskriminatif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Laffer mengatakan, cara untuk memperluas basis pajak atau pembayar pajak adalah dengan menerapkan tarif pajak yang lebih rendah

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya