Komisi XI dan OJK Sepakat Kaji Ulang Co-Payment Asuransi Kesehatan, FKBI: Harusnya Dibatalkan
- VIVA/Fikri Halim
Jakarta, VIVA – Komisi XI DPR RI dan Otoritas Jasa keuangan sepakat untuk menunda pemberlakuan sistem co-payment dalam industri asuransi kesehatan pada 2026. Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran OJK No. 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.
Merespons hal tersebut, Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) menyoroti OJK soal penangguhan tersebut. Ketua FKBI, Tulus Abadi menilai, rekomendasi tersebut bersifat ambigu karena hanya bertujuan untuk menangguhkan atau menunda.
"Dengan kata lain, Komisi XI DPR tidak serius menyerap aspirasi publik, bahkan hanya setengah hati saja. Sebab kalau hanya menunda/menangguhkan, maka suatu saat OJK akan memberlakukan SE tersebut," kata Tulus dalam keterangannya, Selasa, 1 Juli 2025.
Dia bahkan menegaskan bahwa rekomendasi Komisi XI DPR itu justru akan makin menguatkan SE tersebut, dan ditingkatkan menjadi produk hukum yang lebih kuat yakni Peraturan OJK (POJK).
Ilustrasi. Asuransi dan Dana Pensiun
- pexels.com
"Seharusnya rekomendasi Komisi XI DPR adalah meminta OJK untuk membatalkan SE OJK No.7/2025 tersebut, dan meminta untuk tidak mengulanginya lagi dengan membuat SEOJK/POJK serupa," ujarnya.
Tulus menjelaskan alasan kenapa SE OJK No.7/2025 itu harus dibatalkan. Menurutnya, filosofi SE OJK tersebut mengandung spirit yang sesat pikir, karena sangat melemahkan dan menjadikan konsumen asuransi produk kesehatan sebagai ‘kambing hitam’.Â
"Spirit SE OJK No.7/2025 disahkan dengan alasan untuk mengurangi praktik fraud yang dilakukan konsumen, over utilitas, dan bahkan tingginya inflasi di sektor kesehatan. Ketiga alasan itu sangat tidak adil," kata Tulus.
Dia mencontohkan, misalnya terkait dugaan praktik fraud di sektor kesehatan yang pelakunya berasal dari multi stakeholders, dan bukan hanya konsumen. Namun, Tulus menyayangkan kenapa hanya pihak konsumen yang hanya dijadikan tertuduh, dan kemudian dibebani co-payment sebesar 10 persen.
Dugaan over utilitas oleh konsumen juga bisa dimitigasi dengan membuat prasyarat yang lebih ketat, misalnya harus disertai data riwayat kesehatan yang detil via hasil medical check up. Sehingga nantinya tidak akan terjadi over utilitas oleh konsumen.Â
"Jadi over utilitas bisa karena terlalu longgarnya aturan saat konsumen akan menjadi peserta asuransi kesehatan. Dan terkait tingginya inflasi di sektor kesehatan, yang katanya mencapai 12,5 persen, itu tugas dan tanggung jawab regulator bahkan pemerintah untuk mengintervensi, tapi jangan konsumen dijadikan tameng untuk menurunkan tingginya inflasi tersebut," kata Tulus.