Kesepakatan Tarif Impor RI 19 Persen Dinilai Buat AS Menang Besar
- AP Photo/Alex Brandon
Jakarta, VIVA – Presiden Indonesia Prabowo Subianto menjalin kesepakatan tarif impor dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Kesepakatan tarif yang dijalin antara RI dan AS dinilai memberikan kemenangan besar bagi Amerika.
Hal ini diungkap oleh Ekonom senior dari Institute for Development of Economics dan Finance (Indef) sekaligus Ketua Dewan Pakar Asprindo, Didin S Damanhuri.
Trump di media sosial miliknya Truth Social, Rabu 16 Juli menulis bahwa kedua negara sepakat untuk menyetujui tarif impor di antara keduanya. Barang Indonesia yang masuk ke Amerika dikenakan tarif sebesar 19 persen, sementara barang Amerika masuk ke Indonesia bebas tidak dikenakan tarif.
Didin mengatakan, seharusnya banyak yang bisa dilakukan sebelum menyetujui dan menyepakati apa yang menjadi tekanan dari Negeri Paman Sam itu kepada kepentingan ekonomi nasional Indonesia.
Presiden Prabowo Subianto menelpon Presiden AS Donald Trump terkait tarif
- IG Prabowo
Berdasarkan imbalan penurunan tarif ini, Indonesia akan membuka seluruh pasar domestik untuk produk-produk AS.
"Indonesia pun setuju untuk membeli energi dari Amerika senilai 15 Milyar dolar AS (Rp 255 Triliun), ditambahkan dengan membeli produk agrikultural senilai 4,5 Milyar dolar AS (Rp76,5 Triliun) dan membeli 50 unit pesawat Boeing 777. Di samping itu memberikan akses penuh kepada peternak dan nelayan AS ke pasar Indonesia," kata Didin dalam keterangan tertulisnya, Kamis 17 Juli 2025.
Dalam penilaian Didin, Trump mendapat keuntungan dalam negosiasi antara kedua Kepala Negara itu. Timbul pertanyaan, mengapa Trump meraih kemenangan besar dalam Penetapan Tarif 19 persen terhadap Indonesia dan bagaimana seharusnya langkah Pemerintah Indonesia?
“Saya melihat dan menilai model negosiasi yang dilakukan Tim yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto itu lembek. Terkesan meminta belas kasihan dan hanya terfokus kepada Pemerintah AS,” kata Didin yang merupakan Guru Besar IPB Bogor.
Seharusnya, kata Didin, tim itu menggunakan sentimen bersama karena adanya ancaman retaliasi kolektif bersama BRICS. Lalu tahap selanjutya adalah juga melakukan pendekatan ke Kongres, yang merupakan pusat pembuatan kebijakan politik dan pemerintahan AS dibuat.
Negosiasi juga seharusnya dilakukan ke pelaku bisnis AS, yang tentunya mempunyai kepentingan terhadap barang-barang dari produk Indonesia.
“Tim juga seharusnya dilengkapi oleh Diplomat Senior dan Ahli Hukum Perdagangan internasional. Lobi intensif juga dilakukan dengan menawarkan barang-barang sangat dibutuhkan industri AS tersebut, seperti untuk investasi yang mendatangkan keuntungan antara lain pengolahan nikel, rear earth, Batterey dan Mobil Listrik. Semua itu disertai janji perbaikan kemudahan Birokrasi dan kepastian Hukum di Indonesia,” ujarnya.
Lebih lanjut, untuk menambah posisi tawar, Indonesia menaikkan posisi tawar dengan cara lain, seperti segera melakukan divesifikasi tujuan ekpor nontradisional (negara-negara BRICS, Eropa, Afrika, Amerika Latin).
“Di lain pihak, di dalam negeri perlu memobilisasi opini publik seluas mungkin bersama kalangan Organisasi Pengusaha, KADIN, HIPMI, ASPRINDO, NGO, Ormas, suara keras DPR, Akademisi dan seterusnya sehingga tidak terlihat dan terkesan Pemerintah berjalan sendirian," ucapnya.
Sementara itu, kepada AS hendaknya diciptakan rantai pasok di mana perusahaan-perusahaan Indonesia menjadi bagian dari Invetasi AS di Indonesia dengan beberapa skema seperti di antaranya Joint Venture, subkontrak dan lain-lain dengan perusahaan lokal.
Di lain pihak, tambahnya, Indonesia menyiapkan relokasi Industri China yang dapat memperkuat hilirisasi dan reindustrialisasi di Indonesia dengan melibatkan UMKM lokal seperti untuk smratphone, agroindustri, elektronik, batterey, mobil listrik.
Untuk kepentingan itu, juga perlu dibuatkan Zona Industri yang baik dalam kerangka rantai pasok dengan AS maupun China.
Jika, seandainya terjadi eskalasi terburuk, tambahnya, berupa perang dagang karena kegagalan negosiasi AS-China maupun AS-Indonesia, juga harus disiapkan beberapa langkah antara lain subsidi dan insentif fiskal serta konpensasi kepada pelaku ekspor yang terdampak tarif.
“Kemudian, perlu juga dilakukan peningkatan akses pembiayaan ekspor lewat LPEI dan strategi promosi ekspor UMKM yang go global dengan digitalisasi. Tentu saja juga disertai dengan membangkitkan perdagangan dan pasar dalam negeri antar pulau dan antar daerah disertai oleh stimulus kepada UMKM dan para pengusaha daerah,” kata Didin.