Dorong Produksi Kakao Nasional, Komisi IV Soroti Minat Petani hingga Hilirisasi

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Panggah Susanto (Kiri)
Sumber :
  • istimewa.

Jakarta, VIVA – Komisi IV menyoroti sejumlah masalah yang dihadapi para petani di Indonesia dalam pengembangan budidaya komoditas kakao. Perlu ada langkah konkret dari Pemerintah untuk mengatasi rendahnya produksi nasional.

Waspada! Oli Palsu Berbagai Merek Beredar di Jakarta dan Tangerang, Belasan Pemalsu Ditangkap

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Panggah Susanto menyampaikan hal tersebut pada kunjungan Komisi IV ke Cau Cocolate di Kabupaten Tabanan, Bali, kemarin. Kurangnya daya tarik menjadi petani, khususnya petani dari generasi muda melakukan budidaya, karena mereka merasa tidak mendapatkan nilai tambah yang memadai.

“Permasalahan kakao di Indonesia sebenarnya sudah sangat jelas. Salah satu alasan mengapa petani kurang tertarik melakukan budidaya kakao karena mereka tidak mendapatkan nilai tambah yang memadai,” ujar Panggah dikutip dari keterangannya, Selasa, 22 Juli 2025.

Pertamina Bawa Kopi Petani Kamojang Tembus Pasar Asia dan Eropa dengan Teknologi 'Geothermal Dry House'

Panggah menjabarkan, produktivitas rata-rata kakao di Indonesia masih tergolong rendah. Yaitu, sekitar 800 kg per hektare. Jumlah tersebut jauh dari produktivitas maksimalnya yakni sebesar 2 ton.

Pengaruh Cuaca dan Hama, Harga Kakao Turun

Photo :
  • ANTARA FOTO/Abriawan Abhe
Mandiri Sahabat Desa, Langkah Bank Mandiri Perkuat Ekonomi Berbasis Kerakyatan

“Hal ini seharusnya tidak perlu menjadi wacana berulang. Yang diperlukan adalah gerakan konkret untuk mencapai target maksimal tersebut,” tegasnya.

Lebih lanjut dia juga juga menyoroti terkait masalah standard fermentasi kakao. Petani enggan melakukan fermentasi biji kakao karena petani memiliki keterbatasan kapasitas dan sumber daya. Sementara, selisih harga sekitar Rp 2.000 per kg dibandingkan harga non-fermentasi atau asalan, dinilai tidak cukup menarik, padahal permintaan internasional adalah fermented kakao.

“Pemerintah mesti membantu petani, karena napas petani kita cekak (pendek), mereka memiliki keterbatasan kapasitas dan sumber daya untuk melakukan proses fermentasi meski dari standar mutunya adalah yang difermentasi,” ungkap Panggah. 

Terkait masalah hirilisasi, Ia mengungkapkan bahwa yang dibutuhkan para petani adalah teknologi pengolahan yang memadai untuk meningkatkan nilai tambah produk turunan cokelat sangat beragam.

Petani memilah biji kakao

Photo :
  • ANTARA FOTO/Siswowidodo

"Dalam hal ini diperlukan peran sektor industri, maka harus ada sinergi yang baik antara sektor perkebunan dan sektor industri, bukan semata-mata menjadi tanggung jawab sektor perkebunan, karena kalau tidak ada sinergi akan jadi mentok. Hilirisasi ini berada dalam rezim industri," jelasnya.

Karena itu, ia menekankan perlu ada sinergitas erat antara sektor perkebunan dan industri. "Jika tidak ada kolaborasi yang kuat, upaya hilirisasi akan sulit berjalan. Saya kira tidak perlu terlalu banyak dibahas, yang terpenting adalah dikerjakan," pungkasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya