3,5 Juta Anak Muda RI Jadi Pengangguran, Ini 6 Faktor yang Bikin Gen Z Sulit Dapat Kerja

Job Fair Nasional 2018
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

Jakarta, VIVA – Fenomena pengangguran di kalangan anak muda, khususnya Generasi Z (Gen Z), menjadi sorotan serius di banyak negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, dari total 7,28 juta orang pengangguran di Indonesia, sebanyak 3,55 juta di antaranya berasal dari kelompok usia 15–24 tahun. 

Makin Banyak Sarjana Gen Z Jadi Pengangguran, Efek AI?

Angka ini menjadikan Gen Z sebagai penyumbang terbesar pengangguran nasional, meskipun mengalami sedikit penurunan dibanding tahun sebelumnya.

Sementara itu, kelompok usia 25–34 tahun juga mencatat angka pengangguran cukup tinggi, yaitu 1,94 juta orang. Sedangkan usia 35 tahun ke atas, walau secara jumlah lebih kecil, justru menunjukkan tren peningkatan. 

10 Profesi Ini Diprediksi Aman dari AI dan Robot di Masa Depan, Minat?

Ini mengindikasikan bahwa tantangan pasar kerja tidak hanya dihadapi oleh anak muda, tetapi juga mulai menjalar ke pekerja usia matang. Namun, tetap saja sorotan paling tajam tertuju pada Gen Z. 

Pertanyaannya, mengapa begitu banyak Gen Z yang masih menganggur, bahkan di tengah meningkatnya jumlah penduduk bekerja? Berikut penjelasan lengkapnya seperti dirangkum dari Deloitte, World Economic Forum (WEF), dan Harvard Business Review, Kamis, 24 Juli 2025.

15 Profesi Ini Terancam Hilang di 2030, Beberapa Masih Jadi Ladang Nafkah Warga RI

Ilustrasi pengangguran.

Photo :
  • Freepik

1. Ketimpangan Antara Harapan dan Realita di Dunia Kerja

Banyak Gen Z memiliki ekspektasi tinggi terhadap dunia kerja. Sebuah studi oleh Deloitte menyebutkan bahwa Gen Z lebih mementingkan makna pekerjaan, keseimbangan hidup, dan fleksibilitas daripada sekadar gaji. 

Sayangnya, tak semua perusahaan di Indonesia siap memenuhi tuntutan ini, sehingga banyak Gen Z yang memilih menganggur sambil menunggu “pekerjaan ideal”.

2. Skill Gap

Menurut laporan McKinsey & Company, banyak Gen Z yang lulus dari pendidikan tinggi tanpa keterampilan praktis yang dibutuhkan industri. Mereka pintar secara teori, namun kurang dalam keterampilan teknis atau soft skills seperti komunikasi, kepemimpinan, atau manajemen waktu. Inilah yang dikenal dengan "skill gap", yang membuat perusahaan enggan merekrut mereka.

3. Ketergantungan pada Teknologi dan Kurang Pengalaman Sosial

Gen Z adalah generasi digital native. Mereka tumbuh bersama media sosial dan teknologi, namun terkadang kekurangan kemampuan interpersonal yang penting di dunia kerja. Kemampuan beradaptasi secara sosial, bekerja dalam tim, atau menangani konflik secara langsung masih jadi tantangan bagi sebagian dari mereka.

4. Pilih-pilih Pekerjaan dan Enggan Mulai dari Bawah

Masih banyak Gen Z yang enggan menerima pekerjaan entry-level dengan gaji kecil atau posisi non-strategis. Ini diperparah dengan citra media sosial yang sering menggambarkan kesuksesan instan. Alhasil, mereka lebih memilih menganggur atau mencoba peruntungan di dunia kreator, meski penghasilannya belum tentu stabil.

5. Persaingan Global dan Otomatisasi

Di era digital, Gen Z tidak hanya bersaing dengan sesama angkatan kerja dalam negeri, tetapi juga dengan tenaga kerja global dan teknologi otomatisasi. Pekerjaan-pekerjaan yang dulu jadi pilihan banyak fresh graduate kini bisa digantikan oleh AI atau pekerja lepas dari luar negeri dengan tarif lebih murah dan efisiensi tinggi.

6. Kesehatan Mental dan Tekanan Sosial

Isu kesehatan mental juga memengaruhi Gen Z dalam hal partisipasi kerja. Riset dari American Psychological Association (APA) menyebutkan bahwa Gen Z memiliki tingkat stres tertinggi dibanding generasi lain, terutama karena tekanan sosial, kecemasan akan masa depan, dan krisis identitas. Hal ini bisa membuat mereka kurang bersemangat untuk aktif mencari kerja atau bertahan di lingkungan kerja yang penuh tekanan.

Meski jumlah pengangguran usia muda di Indonesia sempat turun, Gen Z masih mendominasi angka pengangguran nasional. Faktor-faktor seperti perbedaan ekspektasi kerja, skill gap, hingga tekanan mental dan sosial menjadi penyebab utama mereka kesulitan masuk dan bertahan di dunia kerja.

Maka dari itu, penting bagi ekosistem pendidikan, perusahaan, dan pemerintah untuk bersinergi menciptakan peluang kerja yang relevan dan inklusif bagi generasi muda, sekaligus memberikan pelatihan keterampilan yang sesuai kebutuhan zaman.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya