Mayoritas Warga RI Masih Andalkan KPR untuk Beli Rumah
- Rumahku.com
Jakarta, VIVA – Di tengah perlambatan penjualan rumah dan pertumbuhan harga yang terbatas, sebagian besar masyarakat Indonesia masih mengandalkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk memiliki hunian.
Fenomena ini terekam jelas dalam Survei Harga Properti Residensial (SHPR) triwulan II 2025 yang dirilis Bank Indonesia, meskipun sektor properti sedang mengalami tantangan dari sisi permintaan maupun biaya pembangunan.
Bank Indonesia mencatat, pada triwulan II 2025, sebesar 73,06 persen konsumen masih memilih menggunakan KPR sebagai sumber pembiayaan utama untuk membeli rumah.
Sementara itu, metode pembayaran tunai bertahap hanya mencakup 17,75 persen, dan pembayaran secara tunai langsung sebesar 9,19 persen. Ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat masih bergantung pada fasilitas pembiayaan dari perbankan demi bisa memiliki rumah, terutama di tengah kenaikan harga properti dan tingginya biaya konstruksi.
Ilustrasi KPR.
- rumahku.com
“Pada triwulan II 2025, sumber utama pendanaan untuk pembangunan properti residensial masih berasal dari dana internal pengembang, dengan pangsa mencapai 78,36 persen. Dari sisi konsumen, mayoritas pembelian rumah primer dilakukan melalui skema pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dengan pangsa sebesar 73,06 persen dari total pembiayaan,” tulis laporan tersebut, seperti dikutip pada Rabu, 6 Agustus 2025.
Namun, nilai KPR yang disalurkan menunjukkan perlambatan. Secara tahunan, total nilai KPR tumbuh 7,81 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan 9,13 persen (yoy) pada triwulan sebelumnya. Secara triwulanan, pertumbuhan juga melambat dari 2,54 persen menjadi 1,32 persen.
Penurunan daya beli ini juga tercermin dari anjloknya penjualan rumah di pasar primer. Pada triwulan II 2025, penjualan rumah turun 3,80% (yoy), berbalik arah dari pertumbuhan 0,73 persen (yoy) pada kuartal sebelumnya. Rumah tipe besar bahkan terkontraksi hingga 14,95 persen (yoy).
Kondisi ini tidak lepas dari berbagai faktor penghambat, seperti kenaikan harga bahan bangunan (19,97 persen), masalah perizinan (15,13 persen), tingginya suku bunga KPR (15,00 persen), dan besarnya uang muka KPR (11,38 persen).
“Beberapa faktor utama yang menghambat penjualan properti residensial di pasar primer meliputi kenaikan harga bahan bangunan, perizinan/birokrasi, suku bunga KPR, proporsi uang muka yang tinggi, serta perpajakan."