Trump Pecat Kepala Statistik AS, Gara-gara Data Lapangan Kerja Jelek?
- Ist
Jakarta, VIVA – Langkah Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang memecat kepala Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS), Erika McEntarfer, menuai kekhawatiran dari para ahli ekonomi dan statistik. Mereka menilai tindakan ini bisa menempatkan AS sejajar dengan negara-negara yang dikenal sering “memasak data” seperti Argentina dan Yunani.
Pemecatan McEntarfer terjadi pada Jumat pekan lalu, setelah Presiden Trump menuduh agensi tersebut memalsukan data ketenagakerjaan terbaru untuk “tujuan politik”.
Laporan BLS menunjukkan penambahan 73.000 pekerjaan pada Juli, jauh di bawah ekspektasi, serta revisi turun untuk angka bulan Mei dan Juni sebesar 258.000 pekerjaan secara kumulatif.
Trump tidak memberikan bukti atas tuduhannya. Ia kembali memperkuat tuduhan itu melalui media sosial pada Senin, menyebut laporan terbaru BLS sebagai “rekayasa” dan “buatan”.
Langkah ini dinilai mengancam tradisi panjang AS dalam pengumpulan data yang netral dan terpercaya, yang menjadi fondasi stabilitas ekonomi nasional maupun kepercayaan internasional.
Presiden AS Donald Trump di Washington DC
- AP
Erica Groshen, pendahulu McEntarfer saat era Presiden Barack Obama, menyoroti perubahan aturan pegawai negeri sipil yang diberlakukan Gedung Putih pada April lalu. Ia memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat membuka jalan bagi “politisasi” badan statistik pemerintah.
“Pemimpin BLS bisa saja dipecat karena merilis atau berencana merilis data pekerjaan atau inflasi yang tidak menguntungkan bagi agenda kebijakan presiden,” tulis Groshen dalam sebuah makalah kebijakan, seperti dikutip dari The Guardian, Rabu, 5 Agustus 2025.
Groshen menyoroti bahwa negara-negara seperti Yunani dan Argentina pernah kehilangan kredibilitas statistiknya akibat tekanan pemerintah untuk memanipulasi angka. IMF bahkan sempat menghentikan penggunaan data inflasi Argentina pada 2013, dan Yunani disebut-sebut “menghilangkan” defisit anggaran agar bisa memenuhi syarat masuk zona euro.
Perubahan kebijakan ini didasarkan pada perintah eksekutif yang ditandatangani Trump pada 20 Januari 2025, hari pertamanya kembali menjabat sebagai presiden. Perintah tersebut menyatakan bahwa kekuasaan pegawai sipil yang memengaruhi kebijakan “didelegasikan oleh presiden dan mereka harus bertanggung jawab kepada presiden”.
Ilustrasi pengangguran.
- Freepik
Menurut Groshen, kini sekitar 50.000 pegawai negeri sipil permanen bisa diklasifikasikan ulang sebagai pegawai “kebijakan/karier”, membuat mereka lebih mudah diberhentikan. Ia khawatir perubahan ini dapat digunakan untuk menekan badan statistik agar mengubah metodologi atau membocorkan informasi sebelum waktunya.
“Ada sejumlah perubahan dalam layanan sipil yang membuat pemerintah lebih mudah mengintervensi kegiatan lembaga statistik, dan itu membuat saya khawatir,” ujarnya. “Dengan membuat lebih mudah memberhentikan pegawai jika presiden menganggap mereka mengganggu kebijakannya, ini meningkatkan potensi loyalitas politik lebih diutamakan daripada keahlian.”
Kekhawatiran akan potensi manipulasi data ini dinilai dapat berdampak besar terhadap kredibilitas ekonomi AS, baik di mata investor maupun lembaga internasional.