DPR Optimis Defisit Perdagangan RI-Australia Bisa jadi Surplus, Ini Alasannya
- Dok. Istimewa
Jakrarta, VIVA – Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Nurdin Halid mengaku optimis defisit perdagangan Indonesia dengan Australia bisa berubah menjadi surplus. Sebab, nilai ekspor Indonesia ke Australia melonjak signifikan dalam lima tahun terakhir, mencapai kenaikan 100 persen.
Nurdin menjelaskan hal itu bisa terjadi jika seluruh pemangku kepentingan bekerja lebih inovatif dan memperkuat kolaborasi.
Pernyataan tersebut disampaikan Nurdin di sela kunjungan pimpinan Komisi VI DPR RI dan para ketua Kelompok Fraksi VI ke Canberra dan Melbourne, Australia, pada 8–12 Agustus 2025. Kunjungan itu turut melibatkan sejumlah BUMN yang terkait langsung dengan kerja sama bisnis dan perdagangan Indonesia–Australia.
Kunjungan Pimpinan Komisi VI DPR RI ke Australia
- Dok. Istimewa
Menurut Nurdin, Indonesia harus memaksimalkan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia–Australia (IA-CEPA) untuk memperluas perdagangan dan investasi, mendukung target pertumbuhan ekonomi 8 persen dan mendorong Indonesia masuk lima besar ekonomi dunia pada 2030.
“UU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pengesahan IA-CEPA terbukti mampu menggerek ekspor dan investasi Indonesia. Nilai ekspor kita ke Australia naik dua kali lipat dalam lima tahun terakhir,” kata Nurdin dalam keterangannya, Selasa, 12 Agustus 2025.
Berdasarkan data Atase Perdagangan RI di Canberra, ekspor Indonesia ke Australia pada 2024 mencapai US$ 5,59 miliar (Rp 89,44 triliun), sementara impor dari Australia sebesar US$ 7,88 miliar. Total perdagangan kedua negara tahun lalu mencapai US$ 13,47 miliar.
Komoditas utama ekspor Indonesia mencakup besi, baja, mesin, peralatan listrik, migas, pupuk, produk kayu, pakaian, produk kimia, dan otomotif.
Nurdin menilai, dengan strategi yang tepat, Indonesia bisa membalik defisit perdagangan menjadi surplus. IA-CEPA dapat dimanfaatkan untuk menjadikan Australia sebagai hub distribusi komoditas ekspor Indonesia ke kawasan Pasifik.
“Indonesia–Australia adalah dua mitra utama ekonomi di Indo-Pasifik. Australia bisa menjadi pusat logistik dan distribusi produk Indonesia di kawasan ini,” tegasnya.
Optimisme tersebut, lanjut Nurdin, didasari beberapa faktor, pertama yaitu keunggulan komparatif produk Indonesia — Ekspor nonmigas ke Australia tumbuh 60,58 persen pada 2024, terutama dari makanan-minuman, produk pertanian, perkebunan, kerajinan, tekstil, rotan, dan dekorasi rumah.
Kedua, kedekatan geografis — Jarak yang lebih dekat dibanding pesaing membuat biaya logistik lebih efisien. Ketiga, manfaat IA-CEPA hingga mengurangi tarif, membuka akses pasar, mempercepat proses bisnis, dan menciptakan lapangan kerja. Total perdagangan naik dari Rp 185 triliun (2019) menjadi Rp 382 triliun (2024).
Kunjungan Pimpinan Komisi VI DPR RI ke Australia
- Dok. Istimewa
Keempat, kekuatan diaspora. Sebanyak 135 ribu warga Indonesia di Australia dapat menjadi konsumen sekaligus agen promosi produk dalam negeri.
Selanjutnya, potensi UMKM, sekitar 62 juta pelaku UMKM dan dukungan Koperasi Desa–Kelurahan Merah Putih serta BPI Danantara berpeluang besar menjadi sumber pasokan komoditas ekspor unik dan bernilai tambah.
"Kedekatan hubungan bilateral, Posisi strategis Indonesia di mata Australia penting bagi aspek geoekonomi dan geostrategi kawasan," pungkasnya.